I. Pendahuluan
Perbankan mempunyai posisi yang strategis sebagai lembaga intermediasi yaitu lembaga yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan.
Lahirnya perbankan syariah di Indonesia diawali dengan adanya lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor pada tanggal 18 – 20 Agustus l990 yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia. Lokakarya tersebut menghasilkan fatwa MUI yang menyatakan bahwa bunga bank hukumnya adalah haram. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih lanjut dalam Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990 yang hasilnya memberikan amanat untuk membentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
Dalam ajaran agama Islam terdapat tiga ajaran yang mendasar yaitu tentang Aqidah, syariah dan akhlak. Syariah terbagi dalam dua aspek yaitu ibadah dan muamalah. Dalam bidang muamalah termasuk didalamnya kegiatan ekonomi islam.
Dalam kegiatan perekonomian Islam didalamnya terkandung nilai-nilai keadilan dan kebebasan bertanggung jawab bagi setiap individu dan masyarakat untuk mengejar kemakmuran baik secara individu maupun kolektif demi terwujudnya kesejahteraan sosial.
Dengan adanya fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank akhirnya melahirkan desakan masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam untuk mengupayakan terwujudnya system perbankan yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu berdasarkan pada tata aturan yang benar yaitu Al Qur’an dan Al Hadist sehingga sedini mungkin dapat dicegah terjadinya ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam fatwa MUI lebih lanjut diberikan penjelasan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Dalam Al Qur’an riba diartikan sebagai setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan secara adil seperti melalui transaksi jual beli, sewa menyewa maupun bagi hasil.
Selain substansi masalah riba berkembang pesatnya perbankan syariah di Indonesia dilatar belakangi pula dengan terjadinya krisis ekonomi yang berkelanjutan yang membawa akibat banyaknya bank konvensional mengalami kesulitan likuiditas yang berakibat pada penutupan operasional, sedangkan bank syariah terbukti lebih mampu bertahan karena bank syariah tidak menetapkan system bunga/interest seperti halnya pada bank konvensional melainkan dipakailah system bagi hasil yang menentukan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
Instrumen penting yang digunakan oleh perbankan Islam untuk menyediakan pembiayaan adalah musyarakah atau penyertaan modal (equity participation), istilah lain yang digunakan untuk musyarakah adalah syarikah/syirkah, dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan partnership, lembaga-lembaga keuangan Islam menerjemahkannya dengan istilah participation financing atau dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kemitraan, persekutuan atau perkongsian.
Syirkah berarti ikhtilath (percampuran), para fuqaha mendefinisikannya sebagai akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.
Secara sederhana musyarakah dapat diartikan akad kerjasama usaha patungan antara 2 (dua) pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati bersama pada saat membuat akad. Porsi pembagian keuntungan tersebut tidak harus sebanding dengan pangsa pembiayaan masing-masing, tetapi atas dasar perjanjian kedua belah pihak.
Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bila musyarakah atau syirkah dilakukan sebagai transaksi perbankan atau oleh lembaga pembiayaan tidak lain merupakan usaha patungan (joint venture) dengan para mitranya terdiri atas bank atau lembaga pembiayaan dan pengusaha (nasabah), sebagai suatu usaha patungan diantara para mitra usaha, dapat pula musyarakah ini dilakukan sebagai suatu modal ventura.
Sungguhpun pada dasarnya mudharabah dapat dikategorikan ke dalam salah satu bentuk syirkah atau musyarakah, namun para cendikiawan fiqih Islam meletakkannya dalam posisi yang khusus dan memberikan landasan hukum yang tersendiri.
II. Pembahasan
Untuk mengetahui apakah hukum perdata kita mengakomodasi perikatan yang dibuat dalam bentuk perjanjian islam (akad), maka harus dilakukan tinjauan secara umum terhadap hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia. Perikatan dalam hukum perdata lahir dari Perjanjian dan Undang-undang. Hukum perjanjian diatur dalam buku ke-III KUHPerdata dengan titel perikatan. Dalam pasal 1313 KUHPerdata perjanjian diartikan ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain, satu orang atau lebih”. Kata mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih orang lain berarti untuk menciptakan perikatan. Dengan adanya perjanjian maka para pihak telah melakukan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan subyek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subyek hukum. Unsur-unsur perbuatan hukum adalah kehendak dan pernyataan kehendak yang sengaja ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum. Pada asasnya akibat hukum ini ditentukan juga oleh hukum. Kemudian dalam pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai sahnya suatu perjanjian, yaitu setiap perjanjian agar secara sah mengikat bagi para pihak yang membuatnya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, yaitu;
1. Kesepakatan para pihak;
Perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut sepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Dengan demikian berdasarkan pasal 1321 KUHPerdata, ditentukan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
2. Kecakapan bertindak dari para pihak;
Para pihak yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Didalam KUHPerdata yang disebut sebagai pihak-pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah; orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampuan.
3. Tentang hal tertentu;
Bahwa perjanjian yang dibuat harus mengenai suatu hal tertentu yang telah disetujui. Menurut Subekti, suatu hal tertentu tersebut adalah untuk mempermudah pengadilan dalam memutuskan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.
4. Serta mempunyai kausa yang halal.
Dengan suatu sebab yang halal, perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan hukum, kebiasaan, ketertiban, dan kesusialaan.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ke tiga dan keempat merupakan syarat obyektif, karena menyangkut obyek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakati. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
Secara umum, tidak diatur secara jelas dan tegas mengenai formalitas suatu perjanjian. Perjanjian dapat dilakukan secara lisan atau tertulis, atau dengan suatu akta otentik. Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau untuk menguatkan haknya sendiri maupun menyangkal suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Namun demikian, KUHPerdata mengecualikan ketentuan umum ini. Beberapa perjanjian khusus harus dibuat secara tertulis dengan suatu akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris, seperti misalnya; Perjanjian Kredit Bank, akta pendirian suatu Perseroan Terbatas dan sebagainya. Adapula beberapa perjanjian yang baru dapat mengikat hanya dengan penyerahan dari obyek yang diperjanjikan. Namun dalam praktek pada umumnya para pihak dari suatu perjanjian menginginkan suatu perjanjian dibuat setidak-tidaknya dalam bentuk tertulis dan dilegalesir oleh Notaris atau dalam bentuk akta notaril, dalam rangka memperkuat kedudukan mereka jika terjadi sengketa.
Adanya ketentuan umum tentang perikatan yang lahir dari perjanjian memang sangat diperlukan sehubungan dengan berlakunya asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak berarti, bahwa orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang tidak dikenal dalam perjanjian bernama dan yang isinya menyimpang dari perjanjian bernama yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan prinsip ”kebebasan berkontrak”, yang tersimpul dalam pasal 1338 KUHPerdata, tiap-tiap perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat para pihak. Mereka tidak dapat membatalkan atau mengakirinya tanpa persetujuan kedua belah pihak atau alasan yang dibenarkan Undang-Undang. Para pihak tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas diperjanjikan, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau Undang-Undang. Disamping hal tersebut diatas semua persetujuan harus dilaksanakan berdasarkan itikad baik oleh para pihak. Ketentuan mengenai itikad baik harus diperhatikan untuk melindungi kepentingan debitur dari kesewenang-wenangan kreditur dalam menyalahgunakan penafsiran bunyi perjanjian. Melalui itikad baik, hakim diberi wewenang untuk melakukan intervensi (turut campur) dalam pelaksanaan perjanjian. Jadi pada intinya suatu perjanjian apapun bentuk dan jenisnya asal mengacu pada ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, tetap berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Begitupun perjanjian (akad) yang dibuat berdasrkan prinsip-prinsip syari’ah.
Perikatan Islam menurut bahasa Uqud ( jama’ dari Aqad ) berarti simpulan, perikatan, perjanjian, permufakatan, sedangkan secara harfiah aqad adalah perikatan antara ijab dan Kabul ( serah terima ) menurut bentuk yang disyaratkan agama dan terdapat kerelaan dari kedua belah pihak.
Dari pengertian akad tersebut diatas dapat diindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan. Dengan demikian akad diwujudkan dalam ijab dan Kabul yang menunjukkan adanya kesukarelaan timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan kehendak syariat. Artinya bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak atau lebih baru dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Dasar hukum perikatan dalam Islam adalah :
1) Surat An Nisa ayat 29 yang artinya :
Hai orang – orang yang beriman! Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan curang, kecuali dengan perdagangan yang berlaku dengan sukarela diantaramu, dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.
2) Surat Al Maidah Ayat 1 yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman! Tepatilah semua janjimu! Dihalalkan bagi kamu binatang ternak untuk dimakan dagingnya, selain dari yang akan dibacakan kepadamu larangannya.Hal itu tidak berarti menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan ibadat haji. Sesungguhnya Allah memerintahkan menurut apa yang dikehendakiNya.
3) Surat Al Isra ayat 34 yang artinya :
Dan janganlah kamu memperlegarkan harta anak yatim, kecuali dengan cara yang sebaik-baiknya, sampai ia dewasa dan penuhilah janji sebab janji itu akan diminta pertanggung-jawabannya.
4) Surat Ali Imran ayat 76 yang artinya :
Itu tidak benar! Yang benar ialah : Barang siapa yang memenuhi janjinya dan memelihara dirinya dari kejahatan maka Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaqwa itu.
5) Hadist Nabi Muhammad, SAW yang menyatakan “ Muamalah ( perikatan ) orang Islam berada diatas syarat – syarat yang mereka buat “ ( Abu Hurairah, Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Al Hakim )
6) Ijtihat, diatur dalam kitab – kitab fiqih dibidang muamalah yang dikeluarkan oleh para ahli.
Suatu akad dipandang telah terjadi jika telah memenuhi rukun dan syaratnya yaitu ijab dan Kabul, sedangkan syaratnya meliputi syarat sah mengenai obyeknya dan syarat yang menyangkut subyeknya.
1) Syarat obyek akad meliputi :
a. Telah ada pada waktu akad diadakan.
b. Dapat menerima hukum akad.
c. Dapat ditentukan dan diketahui.
d. Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.
2) Syarat subyek Akad meliputi :
a. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya. Setiap orang bebas membuat perjanjian tetapi tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an dan Al Hadist dan apabila dilanggar maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
b. Harus sama ridha dan ada pilihan,hal ini dimaksudkan bahwa suatu perjanjian harus ada kesepakatan para pihak, tidak boleh ada paksaan, kekhilafan maupun penipuan, kalau hal ini dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan.
c. Harus jelas dan terperinci. Dalam sebuah perjanjian harus disebutkan dengan jelas apa yang menjadi obyeknya, siapa saja para pihaknya serta apa saja hak dan kewajibannya.
Perjanjian bagi hasil yang dikenal dengan istilah mudharabah adalah suatu akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal sedangkan pihak yang lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila terjadi kerugian ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kesalahan pengelola. Kerugian yang diakibatkan karena kesengajaan dari pengelola maka pengelola harus bertanggung jawab mengganti kerugian tersebut.
Falsafah dasar pembiayaan mudharabah untuk menyatukan modal dengan labour ( Skill dan entrepreneurship ) yang selama ini senantiasa terpisah dalam sistem konvensional, karena memang sistem tersebut diciptakan untuk menunjang mereka yang memiliki modal, dalam mudharabah akan tampak jelas sifat dan semangat kebersamaan serta keadilan. Hal ini terbukti melalui kebersamaan dalam menanggung kerugian yang dialami proyek dan membagikan keuntungan yang membengkak di waktu ekonomi sedang booming.
Bagi hasil dalam perbankan syariah landasan hukum positifnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu :
1) Undang – Undang no 7 tahun l992 kemudian dipertegas dengan Peraturan Pemerintah no. 72 tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil.
2) Undang – Undang no. 10 tahun 1998 yang membagi secara tegas dua jenis bank yaitu bank konvensional dan bank berdasarkan prinsip syariah baik pada bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat.
3) Pasal 11 ayat 1 Undang – Undang no 3 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang – Undanf no 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
4) Peraturan Bank Indonesia no 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Peraturan inilah yang kemudian dijadikan acuan dalam pembuatan kontrak-kontrak di Bank Syariah.
Pelaksanaan perjanjian bagi hasil (mudharabah) dalam perbankan Syariah dimaksudkan sebagai perjanjian yang dibuat oleh pihak bank dengan nasabah, dimana bank bisa bertindak sebagai pihak yang meminjamkan dana (shahibul maal) sedangkan nasabah sebagai pengelola dana (mudharib) atau sebaliknya bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) sedangkan nasabah sebagai pemilik dana shahibul maal) dengan menabung di Bank Syariah melalui tabungan mudharabah atau melalui giro mudharabah.
Dalam Peraturan Bank Indonesia no 7/46/PBI/2005 mudharabah diartikan sebagai penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Rukun Mudharabah atau unsur- unsur yang harus ada agar akad mudharabah sah adalah sebagai berikut :
1) Adanya pemilik modal dan pelaksanaan usaha.
2) Adanya obyek yang diperjanjikan.
3) Adanya persetujuan dari kedua belah pihak (ijab-kabul).
4) Nisbah keuntungan yang mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh para pihak yang bermudharabah.
Pada umumnya pembiayaan dengan system mudharabah modal yang dipinjamkan oleh bank dalam usaha yang akan dijalankan oleh mudharib tidak diberikan dalam bentuk tunai hal ini dimaksudkan agar pihak bank dapat senantiasa mengawasi dalam pengelolaan usaha tersebut. Dalam akad mudharabah pembelanjaan barang dagangan telah ditentukan dan pihak bank secara langsung akan dapat menyusun pembayaran kepada mudharib. Dana yang telah dipinjamkan tidak boleh diselewengkan dan tidak boleh digunakan untuk tujuan lain.
Dalam pengelolaan manajemen, bank menyerahkan pengoperasionalan usaha kepada pihak debitur (mudharib) dengan jalan debitur harus tunduk terhadap segala persyaratan yang telah ditentukan dalam kontrak.
Manfaat yang dapat diperoleh dari akad mudharabah adalah :
1) Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap tetapi disesuaikan dengan pendapatan hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow (arus kas usaha nasabah).
4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal dan aman serta menguntungkan.
5) Prinsip bagi hasil berbeda dengan bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah maupun bila nasabah menderita kerugian.
Disamping manfaat yang diperoleh bank syariah dari adanya akad mudharabah terdapat pula beberapa kerugian atau resiko yaitu side streaming yaitu penyalahgunaan penggunaan modal oleh nasabah, terjadi kelalaian dan kesalahan yang disengaja, penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Selain dari pembiayaan mudharabah dikenal pula system pembiayaan musyarakah yang artinya akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Pelaksanaan akad musyarakah dalam perbankan syariah adalah :
1) Pembiayaan Proyek, dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai suatu proyek. Setelah selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut beserta bagi hasil yang telah disepakati.
2) Modal ventura, penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual sahamnya baik secara langsung maupun bertahap.
Peranan notaris dalam pelaksanaan akad mudharabah dan musyarakah pada Bank Syariah adalah berkaitan langsung dengan kewenangannya dalam pembuatan akta otentik yang diperlukan dalam kerja sama tersebut.
Perjanjian – perjanjian yang dibuat antara bank syariah dengan nasabah untuk lebih mendapatkan jaminan kepastian hukum bagi kedua belah pihak biasanya para pihak menghendaki dituangkan dalam bentuk akta notariil, sehingga seorang notarispun dituntut untuk membekali diri dengan pengetahuan yang cukup tentang produk – produk bank syariah karena ada karakteristik yang berbeda antara bank syariah dengan bank konvensional. Dalam pendirian kantor bank syariahpun diperlukan peran notaris karena dalam pendirian suatu badan hukum harus dituangkan dalam bentuk akta notariil atau akta otentik.
III. Penutup
Lahirnya bank syariah di Indonesia diawali dengan adanya fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank. Masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam menghendaki didirikan lembaga perbankan syariah yang mendasarkan diri pada ketentuan Al Qur’an, Al Hadist dan ijtihad para ahli. Perkembangan bank syariah mengalami perkembangan yang cukup pesat karena direspon oleh pemerintah dengan diundangkannya beberapa peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum positif bagi berdirinya bank syariah di Indonesia.
Aturan hukum positif kita dalam bidang hukum perdata mengenai perikatan, memungkinkan Pelaksanaan akad mudharabah dan musyarakah yang disesuaikan dengan tuntunan yang ada dalam Al Qur’an dan Al Hadist serta ijtihad para ahli.
Peran notaris dalam pelaksanaan akad mudharabah dan musyarakah terkait erat dengan kewenangannya sebagai salah satu pejabat publik yang berwenang membuat akta otentik.
*) Makalah penulis dalam mata kuliah Hukum Perbankan Syariah pada program magister kenotariatan UGM-Yogyakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Terima kasih infonya
Posting Komentar