Jumat, 23 Mei 2008

Memberantas Korupsi Ibarat Membersihkan Lantai Bukan Dengan Sapu Yang Kotor Oleh Raimond Flora Lamandasa, SH

(Artikel ini ditulis penulis pada tgl 15 Juni 2007 dan dipublikasi di www.morowali.com).
Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh pengumuman Transparency International (TI), sebuah lembaga terpercaya yang berpusat di Berlin - Jerman bahwa dalam peringkat negara-negara terkorup di dunia, Indonesia merupakan negara terkorup ketujuh. Kenyataan ini membuktikan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih sangat jauh dari memuaskan.
Masalah korupsi dan bagaimana cara mengatasinya sudah sangat banyak dibicarakan oleh para pengamat, penegak hukum, tokoh LSM, pejabat, pendidik dan juga pemimpin umat dari berbagai agama. Namun spirit reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 ditandai dengan runtuhnya rejim Orde Baru, yang salah satu agenda pokoknya adalah “pemberantasan KKN”, ternyata gaungnya mulai meredup. Ironis, karena sampai sekarang belum ada tanda-tanda bahwa korupsi dapat dikurangi apalagi diberantas, Indonesia tetap bertengger sebagai salah satu negara terkorup di dunia.
Korupsi sudah melanda negeri ini sejak lama dan dalam skala besar dan hampir merasuki semua aspek kehidupan. Ia terjadi di birokrasi, pengadilan, perbankan, BUMN, bantuan luar negeri, pendidikan, swasta dan lembaga keuangan. Korupsi berlangsung terus dalam bentuk yang lebih canggih, lebih merata, dan dilakukan secara terang-terangan, tanpa malu. Suatu kenyataan yang sangat memiriskan hati bahwa ditengah-tengah upaya Presiden SBY memberantas korupsi, yang terjadi justru korupsi semakin mengakar dan kronis. Sebut saja beberapa bukti yang menunjukkan tingkat korupsi di Indonesia yang begitu parah yang ditunjukkan oleh KPK – Komisi Pemberantasan Korupsi (Jawa Pos 7/11/2006) :
Pertama, survei the Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) Januari - Februari 2005 terhadap 900 ekspatriat di Asia, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup se-Asia. Kedua, kebocoran dana pembangunan mencapai 50 persen dan pungutan tidak resmi mencapai 30 persen biaya produksi. Ketiga, rendahnya pertumbuhan ekonomi (5,1 persen), indeks kualitas SDM dan tingginya angka kemiskinan (16,6 persen) dan pengangguran (9,7 persen). Keempat, utang pemerintah meningkat drastis menjadi sekitar US$ 70 miliar pada 2004, membengkak hingga antara aset pemerintah dengan utang defisit Rp. 555 triliun. Kelima, laporan BPK 1999-2004, penyelewengan uang negara terjadi Rp 166,5 triliun, yang Rp 144 triliun adalah pelanggaran BLBI.
Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari nilai APBN 2004 Rp 584 triliun, Rp 23 triliun telah dikorupsi. Lebih lanjut, KPK menyatakan, pelaku korupsi yang paling banyak adalah anggota legislatif, yakni 37 persen, disusul pejabat dinas pemda 18 persen, eksekutif 15 persen, pimpro 10 persen, parpol 3 persen, dan kepolisian 2 persen.
Temuan KPK tersebut tak jauh berbeda dengan yang dirilis Mendagri, yang menyebut ada sekitar 1.110 pejabat daerah korup. Pejabat daerah tersebut meliputi 7 gubernur, 60 bupati/wali kota, 327 anggota DPRD provinsi dan 735 anggota DPRD kab/kota di seluruh Indonesia. Mereka diduga melakukan korupsi pada 2004-2006.
Mengguritanya korupsi itu diungkapkan juga oleh mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif. Korupsi sudah sedemikian kuat membelenggu kita, mulai dari istana sampai kantor kelurahan, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Bahkan merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet.
Korupsi telah menjadi penyebab utama terpuruknya perekonomian bangsa, dan menjadi penghalang dalam upaya mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran. Korupsi yang meluas membuat kesejahteraan rakyat semakin terhempas. Menjadi pertanyaan kemudian, sampai sejauh manakah ”strong political-will dan full commitment” dari pemerintah dan semua lini penegak hukum untuk memberantasnya? Ini harus menjadi perenungan kita bersama.
Dari sudut kelembagaan sudah ada KPK dengan kewenangan yang sangat luas, termasuk peradilan ad hoc tipikor. Lalu ada juga Timtas Tipikor, selain peradilan umum yang juga melakukan penuntutan korupsi. Jadi, dari sudut substansi dan kelembagaan, pemberantasan korupsi sudah sangat memadai.
Meski demikian, ternyata penanganan korupsi masih sangat mengecewakan dan dinilai masih dalam praktik "tebang pilih". Artinya, masih banyak kasus besar yang belum tersentuh pengadilan dan terkesan dilindungi oleh kekuasaan. Banyak putusan hakim yang kental isu suap. Banyak kasus yang ditangani, tapi ketika sampai di pengadilan banyak terdakwanya yang dibebaskan. Padahal menurut perasaan keadilan masyarakat atau pun berdasarkan fakta yang muncul di pengadilan, seharusnya hakim memutuskan sebagai terbukti bersalah.
Selain itu masih terdapat hambatan serius dimana political will dan moral hazard pemegang kekuasaan, anggota DPR, dan lingkungan peradilan masih lemah. Salah satu hambatan adalah ketentuan yang menyatakan, untuk memeriksa dugaan korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah dan anggota DPR diperlukakan izin tertulis presiden. Ini tidak sesuai dengan asas equality before the law.
Menghadapi beban penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi yang semakin canggih dan kompleks, lembaga kejaksaan sebagai ujung tombak penegak hukum, mutlak perlu membenahi diri ke dalam dan mereformasi diri. Salah satu agenda penting dalam reformasi lembaga kejaksaan adalah bagaimana lembaga ini dapat menjadi lembaga yang bebas dari intervensi politik. Politisasi hukum sudah berlangsung lama dan ini harus dijadikan agenda reformasi untuk menjadikan lembaga kejaksaan steril dari pengaruh politik dan kepentingan politik. Masyarakat tidak ingin melihat Kejaksaan c.q. Kejaksaan Agung mengejar tersangka koruptor yang berubah dari waktu ke waktu bergantung kepada siapa atasannya atau presidennya. Tersangka tindak pidana korupsi pada jaman pemerintahan Habibie berbeda dengan pada pemerintahan Abdurahman Wahid, pada jaman Megawati dan juga pada jaman SBY. Perubahan target tersangka tersebut dapat dijadikan indikator betapa lembaga kejaksaan telah dijadikan alat politk oleh kekuasaaan yang memerintah. Inilah yang harus dijadikan perhatian utama dalam reformasi lembaga kejaksaan.
Mengakhiri tulisan ini, kiranya penting untuk menyimpulkan artikel ini dengan beberapa isu yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah kalau ingin sungguh-sungguh mau memberantas korupsi :
1. Menerapkan good governance di lembaga-lembaga pemerintah dan penegak hukum.
2. Menjadikan lembaga-lembaga penegak hukum bersih, profesional dan berintegritas.
3. Lembaga kejaksaan harus steril dari pengaruh politik dan kepentingan politik.
4. Mengadakan terobosan (shock therapy) dengan menghukum berat para pelaku korupsi dalam rangka kampanye anti korupsi.
5. Mensosialisasikan gerakan anti korupsi sebagai gerakan sosial dan pemberian contoh hidup jujur, sederhana dan berintegritas oleh para pemimpin formal, khususnya di lembaga-lembaga pemerintah.
6. Mendidik anak-anak sejak dini untuk bersikap anti korupsi, yang berarti merubah kurikulum pendidikan yang indotrinatif ke arah pendidikan yang dapat menciptakan manusia yang mempunyai pemikiran bebas dan liberal.
Pemberantasan korupsi haruslah ibarat membersihkan lantai kotor bukan dengan sapu yang kotor tetapi dengan sapu yang bersih. Dengan begitu efektifitas pembersihannya akan tercapai sesuai harapan kita.

Tidak ada komentar: