I. PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warga negara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang terjadi didalam masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad dengan Lydia Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan Henri Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan Nia Zulkarnaen, Dedi Kobusher dengan Kalina, Frans dengan Amara, Sonny Lauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih banyak lagi.
Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan diluar negeri.
Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama, menurut aturan perundang-undangan itu sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis mencoba memberikan pendapat tentang Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 berarti undang-undang ini merupakan Undang-undang Perkawinan Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan yang sudah ada sebelumnya dan diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia.
Dalam pasal 66 UU No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional ini.
Dengan demikian dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain adalah :
a. Buku I KUH Perdata
b. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
c. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
d. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1/1974
e. Instruksi Presiden Np. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
A. Pengertian Perkawinan
Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan bahwa “perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”. Dan menurut Scholten perkawinan adalah ”hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”.
Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.
B. Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan
a. Hakikat Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri.
Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.
Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.
b. Asas Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja).
c. Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.
Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.
Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah.
d. Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu.
Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
C. Perkawinan Campuran
Dalam pasal 57 UU No. 1/1974 perkawinan campuran adalah antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena beda warga negara dan salah satu warga negaranya adalah warga negara Indonesia.
Jadi unsur-unsur yang terdapat dalan perkawinan campur adalah perkawinan dilakukan di wilayah hukum Indonesia dan masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan kewarganegaraan, yang salah satu pihak harus warga negara Indonesia.
Dan syarat-syarat perkawinan campuran pada pasal pasal 59 ayat 2 UU No. 1/1974, dari pasal ini menunjukan prinsip Lex loci actus yaitu menunjuk dimana perbuatan hukum tersebut dilangsungkan. Hal ini berarti perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut hukum perkawinan Indonesia.
D. Perkawinan di Luar Negeri
Menurut pasal 83 KUHPerdata, perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warga negara Indonesia dan dengan warga negara lain adalah sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut cara atau aturan negara tersebut dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata. Kemudian dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri tersebut kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan harus dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka (pasal 84 KUHPerdata).
Pada pasal 56 UU No. 1/1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar UU ini.
Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
E. Perkawinan Menurut Hukum Agama
Perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama yang dianut oleh calon pasangan yang akan melaksanakan pernikahan. Kedua pasangan suami isteri tersebut menganut agama yang sama. Jika antara keduanya menganut agama yang berlainan, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya menganut agama calon lainnya tersebut.
III. PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
B. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama
Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
C. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.
IV.PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas, dengan ini penulis kemukakan beberapa hal sebagai kesimpulan, sebagai berikut :
1. Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
2. Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
3. Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawian, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
4. Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia yang berbeda agama dengan cara melakukan perkawinan tersebut di luar negeri.
B. Saran
Bahwa dengan ketidak tegasan pemerintah dalam mengatur perkawinan beda agama sebagaimana tidak adanya aturan tersebut pada UU No.1/1974, maka bersama ini kami sarankan bahwa :
a. Perlu rumusan ulang atau revisi tentang perkawinan antar agama, karena dalam UU No. 1/1974 Tentang Hukum Perkawinan belum jelas dan tuntas dalam mengatur perkawinan antar agama.
b. Dalam revisi terhadap Undang-undang Perkawinan perlu kejelasan tentang status hukum bagi mereka yang ingin melakukan perkawinan antar agama.
*) Tulisan ini adalah paper penulis dalam mata kuliah Hukum Keluarga saat penulis kuliah di Program Magister Kenotariatan UGM-Yogyakarta.
Kamis, 29 Mei 2008
Praktek Pembiayaan Sewa-menyewa Dalam Perbankan Syariah Oleh Raimond Flora Lamandasa, SH *)
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari – hari, masyarakat memiliki kebutuhan – kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank.
Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syariah Islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama manusia. Pengaturan lembaga perbankan dalam syariah Islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa “ maa laa yatimm al – wajib illa bihi fa huwa wajib “, yakni sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah ( yakni melakukan kegiatan ekonomi ) adalah wajib diadakan. Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun menjadi wajib untuk diadakan.
Lembaga pembiayaan merupakan salah satu fungsi bank, selain fungsi menghimpun dana dari masyarakat. Fungsi inilah yang lazim disebut sebagai intermediasi keuangan (financial intermediary function). Hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (1) UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Pembiayaan dikucurkan melalui dua jenis bank, yaitu Bank Konvensional maupun Bank Syariah. Sistem bunga yang diterapkan dalam perbankan konvensional telah mengganggu hati nurani umat Islam di dunia tanpa kecuali umat Islam di Indonesia. Bunga uang dalam fiqih dikategorikan sebagai riba yang demikian merupakan sesuatu yang dilarang oleh syariah ( haram ). Alasan mendasar inilah yang melatarbelakangi lahirnya lembaga keuangan bebas bunga, salah satunya adalah Bank Syariah.
Perbedaan signifikan pembiayaan antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah menurut M. Syafii Antonio adalah sebagai berikut :
Bank Syariah :
1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa
3. Profit dan falah oriented
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan
5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatma Dewan Pengawas Syariah
Bank Konvensional :
1. Investasi yang halal dan haram
2. Memakai perangkat bunga
3. Profit oriented
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur
Tidak terdapat dewan sejenis
Dalam operasionalnya, Bank Syariah memberi jasa-jasa dalam bentuk yang terbagi menjadi :
1. Musyarakkah
Adalah pembiayaan sebagian dari modal usaha, yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manajemennya.
2. Murabahah
Adalah Akad jual beli atas barang tertentu dengan memperoleh keuntungan.
3. Mudharabah
Adalah bank menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja secara penuh berdasarkan prinsip bagi hasil dan,
4. Ijarah ( sewa – menyewa )
Pengertian Ijarah (sewa-menyewa) yang terdapat dalam perbankan syariah berbeda dengan pengertian sewa-menyewa dalam praktek umum sehari – hari. Sewa – menyewa dalam praktek sehari-hari mempunyai tiga unsur essensialia yaitu :
a. Harga sewa
b. Jangka waktu / masa sewa
c. Obyek sewa
Dalam transaksi sewa – menyewa ini tidak ada peralihan hak milik, artinya jika masa sewa berakhir maka barang obyek sewa dikembalikan pada pemilik sewa sehingga pada umumnya tidak membutuhkan jasa suatu lembaga pembiayaan. Akan tetapi lain halnya dalam praktek perbankan Syariah karena dikenal Pembiayaan Berdasarkan Akad Sewa – Menyewa yang disebut Ijarah. Oleh karenanya timbul pertanyaan kenapa pada transaksi sewa – menyewa yang pada umumnya tidak disertai pemindahan hak milik sehingga tidak diperlukan pembiayaan dalam praktek perbankan syariah disertai dengan pembiayaan ?
B.Tinjauan Umum Bank Syariah.
Berdasarkan fungsinya jenis bank di Indonesia dapat dikelompokkan atas:
1. Bank sentral yaitu Bank Indonesia sebagaimana dalam UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, kemudian dicabut dengan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
2. Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
3. Bank perkreditan rakyat yaitu bank yang melaksanakan kegiatannya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
4. Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Yang dimaksud dengan mengkhususkan diri untuk melakukan kegiatan tertentu adalah melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka panjang, pembiayaan untuk mengembangkan koperasi, pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah atau pengusaha kecil, pengembangan ekspor non migas dan pengembangan pembangunan perumahan.
Peraturan tentang perbankan pertama kali diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992, pada peraturan perundang-undangan ini belum secara tegas menganut bahwa prinsip syariah dalam perbankan diperbolehkan akan tetapi sudah mulai disinggung secara implisit. Hal ini dapat dilihat dari pasal 6 huruf b dan m Undang-Undang No.7 Tahun 1992 yaitu :
- Memberikan kredit; dan
- Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang diterapkan dalam peraturan pemerintah;
Selain itu juga diatur dalam salah satu kegiatan usaha bank perkreditan rakyat yaitu “ menyediakan pembiayaan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah “ , akan tetapi dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 masih menganut single banking system yang dipertegas dalam PP No.72 Tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil.
Dalam PP tersebut, bank hanya diperkenankan melakukan kegiatan operasional usaha secara konvensional saja atau bagi hasil saja, jadi tidak boleh dalam suatu bank melakukan pelayanan memakai dua prinsip secara bersamaan. Pada tahun 1998 diundangkanlah Undang-Undang No.10 Tahun 1998 yang merubah Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam undang-undang ini baru secara tegas dikatakan bahwa sektor perbankan di Indonesia terdiri dari dua macam yaitu bank konvensional dan bank berdasarkan prinsip syariah baik pada bank umum maupun bank perkreditan rakyat
C. Tinjauan Umum Pembiayaan
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya pembiayaan dapat dibagi menjadi 2 hal berikut:
1. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi 2 hal berikut:
A. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan:
(a). Peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi;dan
(b).Untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
B. Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
2. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok, baik berupa barang, seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan pengobatan. Adapun kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer, baik berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian/perhiasan, bangunan rumah, kendaraan dan sebagainya, maupun berupa jasa, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan, dan sebagainya.
Pada umumnya, bank konvensional membatasi pemberian kredit untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah, seperti rumah dan kendaraan bermotor, yang kemudian menjadi barang jaminan utama (main collateral). Adapun untuk pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan berupa barang lain yang dapat diikat sebagai collateral.sumber pembayaran kembali atas pembiayaan tersebut berasal dari sumber pendapatan lain dan bukan dari eksploitasi barang yang dibiayai dari fasilitas ini.
Bank syariah dapat menyediakan pembiayaan komersil untuk pemenuhan barang konsumsi sebagai berikut :
1. Al-Bai’bitsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) atau jual beli dengan angsuran.
2. Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik atau sewa beli.
3. Al-Musyawarakah mutanaqhishah atau decreasing participation, dimana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.
4. Ar-Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.
D. Pembiayaan Dalam Praktek Perbankan Syariah
Dalam penyaluran dana yang berhasil dihimpun dari nasabah atau masyarakat, bank syariah menawarkan beberapa produk perbankan sebagai berikut:
1. Pembiayaan Mudharabah
Adalah Bank menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja secara penuh (trusty financing),sedangkan nasabah menyediakan proyek atau usaha lengkap dengan manajemennya.Hasil keuntungan dan kerugian yang dialami nasabah dibagikan atau ditanggung bersama antara bank dan nasabah dengan ketentuan sesuai kesepakatan bersama. Prinsip mudharabah dalam perbankan digunakan untuk menerima simpanan dari nasabah, baik dalam bentuk tabungan atau deposito dan juga untuk melakukan pembiayaan.
Adapun rukun dan syaratnya adalah sebagai berikut:
Rukun Mudharabah:
a. Ada shahibul maal (modal/nasabah)
b. Adanya mudharib (pengusaha/bank)
c. Adanya amal (usaha/pekerjaan)
d. Adanya hasil (bagi hasil/keuntungan) dan
e. Adanya aqad (ijab-qabul)
2. Pembiayaan Musyarakah adalah pembiayaan sebagian dari modal usaha,yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manajemennya.modal yang disetor dapat berupa uang, barang perdagangan (trading asset), property, equipment atau intangible asset (seperti hak paten dan goodwiil) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
3. Pembiayaan Murabahah dalam istilah fiqh ialah akad jual beli atas barang tertentu.dalam transaksi jual beli tersebut,penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan termaksud harga pembelian dan keuntungan yang diambil . Murabahah dalam teknis perbankan adalah akad jual beli antara bank selaku penyedia bank dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Adapun rukun dan syaratnya sebagai berikut:
Rukun Murabahah:
a. Penjual
b. Pembeli
c. Barang yang diperjual-belikan
d. Harga dan
e. Ijab-qabul
4. Pembiayaan Al Bai’Bithaman Ajil adalah pembiayaan untuk membeli barang dengan cicilan.syarat-syarat dasar dari produk ini hampir sama dengan pembiayaan murabahah. Perbedaan diantara keduanya terletak pada cara pembayaran, dimana pada pembiayaan murabahah pembayaran ditunaikan setelah berlangsungnya akad kredit, sedangkan pada pembiayaan Al Bai’Bithaman Ajil cicilan baru dilakukan setelah nasabah penerima barang mampu memperlihatkan hasil usahanya.
5. Pembiayaan Salam diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan jangka pendek untuk produksi agrobisnis atau industri jenis lainnya.
6. Pembiayaan Isthina’ diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan manufaktur, industri kecil-menengah,dan konstruksi.dalam pelaksanaannya pembiayaan isthina dapat dilakukan dengan dua cara,yakni pihak produsen ditentukan oleh bank atau pihak produsen ditentukan oleh nasabah.pelaksanaan salah satu dari kedua cara tersebut harus ditentukan dimuka dalam akad berdasarkan kedua belah pihak.
7. Pembiayaan sewa beli (ijarah wa iqtina atau ijarah muntahiyyah bi tamlik) adalah akad sewa suatu barang antara bank dengan nasabah, dimana nasabah diberi kesempatan untuk membeli obyek sewa pada akhir akad atau dalam dunia usaha dikenal dengan finance lease Harga sewa dan harga beli ditetapkan bersama diawal perjanjian. Dalam pembiayaan ini yang menjadi obyek sewa diisyaratkan harus barang yang bermanfaat dan dibenarkan oleh syariat dan nilai dari manfaat dapat diperhitungkan atau diukur.pembiayaan sewa beli ini dapat dilakukan dengan cara: pertama lembaga pembiayaan atau perusahaan leasing yang berdasarkan syariah Islam membeli aset yang akan dibeli oleh nasabah, setelah terbeli maka, lembaga tersebut menyewakan aset itu dalam jangka waktu dan harga yang ditentukan dalam perjanjian kedua belah pihak.
8. Hiwalah
Hiwalah adalah produk perbankan syari’ah yang disediakan untuk membantu suplier dan mendapatkan modal tunai agar melanjutkan produksinya. dalam hal ini Bank akan mendapatkan imbalan (fee) atas jasa pemindahan piutang. Besarnya imbalan yang akan diterima Bank ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan antar Bank dengan nasabah.
9. Rahn
Produk perbankan ini disediakan untuk membantu nasabah dalam pembiyaan kegiatan multiguna. Rahn sebagai produk pinjaman berarti Bank hanya memperoleh imbalan atas penyimpanan, pemeliharaan, asuransi dan administrasi barang yang digadaikan. berkenaan dengan hal tersbut maka, produk Rahn hanya digunakan bagi keperluan Sosial seperti pendidikan dan kesehatan.
E. Pembiayaan Ijarah
Al-Ijarah berasal dari kata Al – Ajru yang berarti Al’Iwadhu atau berarti ganti. Dalam Bahasa Arab, Al-Ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang. Definisi mengenai prinsip Ijarah juga telah diatuir dalam hukum positif Indonesia yakni dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang mengartikan prinsip ijarah sebagai “ transaksi sewa – menyewa atas suatu barang dan atau upah – mengupah atas suatu usaha jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. ”
Sampai saat ini, mayoritas produk pembiayaan syariah masih terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual beli). pembiayaan murabahah sebenarnya memiliki persamaan dengan pembiayaan ijarah, keduanya termasuk dalam kategori Natural certainty contracts, dan pada dasarnya adalah kontrak jual beli. yang membedakan keduanya hanyalah objek transaksi yang diperjualbelikan tersebut, dalam pembiayaan murabahah, yang menjadi objek transaksi adalah barang, misalnya rumah, mobil dan sebagainya. sedangkan dalam pembiayaan ijarah, objek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Jika dengan pembiayaan murabahah, Bank syariah hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat dilayani. Dengan skim Ijarah, bank syariah dapat pula melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.
Pada dasarnya ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat ) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.
Dalam kegiatan perbankan Syariah pembiayaan melalui Ijarah dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Didasarkan atas periode atau masa sewa biasanya sewa peralatan. Peralatan itu disewa selama masa tanam hingga panen. Dalam perbankan Islam dikenal sebagai Operating Ijarah.
2. Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik di beberapa negara menyebutkan sebagai Ijarah Wa Iqtina’ yang artinya sama juga yaitu sama juga yaitu menyewa dan setelah itu diakuisisi oleh penyewa ( finance lease ).
Oleh karena Ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, maka banyak orang menyamaratakan ijarah dengan leasing. Hal ini disebabkan karena kedua istilah tersebut sama-sama mengacu pada hal – ihwal sewa-menyewa. Karena aktivitas perbankan umum tidak diperbolehkan melakukan leasing, maka perbankan Syari’ah hanya mengambil Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik yang artinya perjanjian untuk memanfaatkan ( sewa ) barang antara Bank dengan nasabah dan pada akhir masa sewa, maka nasabah wajib membeli barang yang telah disewanya.
2. Jenis Barang Ijarah Muntahiyyah Bittamlik
Barang yang disewakan kepada nasabah umumnya berjenis aktiva tetap atau fixed assets seperti : gedung-gedung (buildings), kantor, mesin, rumah-rumah petak (tenements), atau barang bergerak yang memiliki specific fixed.
3. Rukun dan Syarat Ijarah Muntahiyyah Bittamlik
1. Rukun
a. Penyewa (musta’ jir)
b. Pemilik barang (mu’ajjir)
c. Barang atau obyek sewaan (ma’jur)
d. Harga sewa/manfaat sewa (ajran/ujran)
e. Ijab Qabul
2. Syarat
a. Pihak yang saling telibat harus saling ridha
b. Ma’ jur (Barang atau obyek sewa)
- Manfaat tersebut dibenarkan agama atau halal.
- Manfaat tersebut dapat dinilai dan diukur atau diperhitungkan.
- Manfaatnya dapat diberikan kepada pihak yang menyewa
- Ma’ jur wajib dibeli musta’ jir
F. Tinjauan Yuridis Pembiayaan Berdasarkan Akad Sewa-Menyewa Dalam Praktek Perbankan Syariah.
Dalam lapangan hukum perdata prinsip Ijarah dikenal dengan istilah prinsip sewa – menyewa. Definisi sewa menyewa yang diberikan oleh Pasal 1548 KUH Perdata adalah “ suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari sesuatu barang selama satu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. “
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna ( manfaat ) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa / upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Dalam Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 telah menetapkan syarat untuk berbagai produk perbankan syariah baik berupa penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Dibidang penghimpunan dana telah diatur simpanan yang bersifat titipan, yakni giro wadi’ah, dan tabungan wadi’ah juga simpanan bersifat investasi, yakni : giro mudharabah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.
Pada bidang penyaluran dana, Peraturan Bank Indonesia dimaksud telah mengatur dalam Pasal l6 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 bahwa produk – produk penyaluran dana dalam perbankan syariah yaitu Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah dan Ijarah Muntahiyya Bit Tamlik serta Qardh.
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bank Indonesia, sewa menyewa yang disebut juga ijarah diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah terutama dalam pasal 28 yang menyebutkan bahwa bank wajib menerapkan Prinsip Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya meliputi:
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yaitu:
1. Giro berdasarkan prinsip wadi’ah;
2. Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah;
3. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah;atau
4. Bentuk lain berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah
b. Melakukan penyaluran dana melalui transaksi jual beli berdasarkan prinsip:
1. Murabahah; 2. Istihna; 3. Ijarah; 4. Salam; 5. Jual beli lainnya
G. Kesimpulan
Praktek sewa – menyewa dalam transaksi umum masyarakat tidak disertai dengan pemindahan hak milik. Apabila disertai dengan pemindahan hak milik maka transaksinya disebut perjanjian sewa – beli. Terhadap perjanjian sewa – beli ( leasing ) umumnya pemberian jasa pembiayaan diberikan oleh lembaga keuangan non – bank / finance . Pada praktek perbankan syariah, akad sewa – menyewa disebut Ijarah. Akad sewa – menyewa ( Ijarah ) pada perbankan syariah pada perkembangannya dapat disertai dengan pemindahan hak milik yang disebut sebagai Ijarah Muntahiyyah Bit – Tamlik ( IMBT ). Walaupun seperti terlihat mirip dengan Leasing pada praktek pembiayaan konvensional, tetapi pada perbankan syariah terdapat pembedaan, yaitu jika objek leasing hanya berlaku pada manfaat barang saja, sedangkan pada Ijarah Muntahiyyah Bit – Tamlik obyeknya bisa berupa barang maupun jasa / tenaga kerja.
*) Tulisan ini merupakan makalah penulis saat belajar Hukum Perbankan Syariah di Program Magister Kenotariatan UGM.
Label:
Artikel hukum
Jumat, 23 Mei 2008
Penegakan Hukum Oleh Raimond Flora Lamandasa, SH
(Artikel ini di publikasi di www.manadopost.com tgl 29 Oktober 2007)
Dalam hidup sehari-hari sering kita jumpai pernyataan sinis dari masyarakat bahwa hukum di negara kita belum ditegakkan sebagaimana adanya. Pernyataan ini bukannya lahir instan begitu saja tanpa alasan, tetapi lahir sebagai ungkapan rasa ketidak puasan atas fakta-fakta penegakkan hukum yang dalam banyak kasus masih sangat jauh dari harapan kehidupan bernegara hukum di negara kita. Tingkat kesadaran hukum masyarakat rupanya telah maju sedemikian rupa sehingga adanya ketidak betulan dalam hal penegakkan hukum langsung diresponi negative oleh masyarakat.
Masyarakat saat ini telah mengerti betul apa tujuan adanya hukum. Merujuk pendapat Radbrurh, tujuan hukum itu setidaknya harus memenuhi tiga hal pokok yang sangat prinsipil yang hendak dicapai, yaitu : Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan.
Keadilan secara secara gramatical berasal dari kata adil yang artinya seimbang dan tidak berat sebelah. Dr. Andi Hamzah, SH dalam ”Kamus Hukum” memberikan pengertian keadilan adalah keseimbangan antara yang patut diperoleh pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian, merupakan salah satu sifat hukum disamping kemanfaatan.
Dalam bahasa praktisnya, keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan menurut Geny tidaklah ada artinya sama sekali.
Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Mengutip pendapat Lawrence M. Wriedman, seorang Guru Besar di Stanford University, berpendapat bahwa untuk mewujudkan ”kepastian hukum” paling tidak haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai berikut, yakni : (1) substansi hukum, (2) aparatur hukum, dan (3) budaya hukum.
Unsur pertama “substansi hukum” berbicara tentang isi daripada ketentuan-ketentuan tertulis dari hukum itu sendiri. Unsur kedua adalah “aparatur hukum” adalah perangkat, berupa system tata kerja dan pelaksana daripada apa yang diatur dalam substansi hukum tadi. Sedangkan unsur yang terakhir adalah “budaya hukum” yang menjadi pelengkap untuk mendorong terwujudnya “kepastian hukum” adalah bagaimana budaya hukum masyarakat atas ketentuan hukum dan aparatur hukumnya. Unsur budaya hukum ini juga tidak kalah pentingnya dari kedua unsur diatas, karena tegaknya peraturan-peraturan hukum akan sangat bergantung kepada “budaya hukum” masyarakatnya. Dan budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.
Substansi hukum, aparatur hukum serta budaya hukum seperti telah dikemukakan di atas, idealnya harus di-sinergikan guna mendorong terwujudnya “kepastian hukum“ di negara hukum manapun di dunia ini. Satu sama lain harus memiliki sifat saling ketergantungan (dependency), salah satu unsur saja tidak terpenuhi, maka “kepastian hukum“ sulit untuk terwujud.
Sedangkan dari sisi kemanfaatannya, hukum seyogyanya membawa kegunaan dalam tata sinergis antara keadilan dan kepastiannya. Sehingga dalam praktek, hukum membawa akibat (manfaat) terciptanya rasa terlindung dan keteraturan dalam hidup bersama dalam masyarakat.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam interaksi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas, yang diartikan sebagai upaya penegakan hukum yang melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalam bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Dengan uraian diatas menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
PENEGAKAN HUKUM OBYEKTIF
Seperti disebut di atas bahwa secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal menunjuk hanya kepada peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam praktek sehari-hari, kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya.
Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara pararel dan bersilang. Karena itu secara akademis, Hak Asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsi ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstiotusionalisme inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar pada hukum (Constitutional democracy).
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Karena apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasi manusia itu sendiri?. Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak asasi manusia “. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesadaran untuk mengghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan kita pun memang belum berkembang secara sehat.
APARATUR PENEGAK HUKUM
Aparatur penegak hukum menunjuk kepada pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparatnya (orangnya). Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Dalam realitanya, tugas atau perannya langsung terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya, aparatur penegak hukum itu, dipengaruhi oleh 3 elemen penting yang sangat berpengaruh yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta perangkat sarana dan prasarana pendukung serta mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk faktor kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor diatas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negra kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang mencita-citakan upaya menegakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu: (i) pembuatan hukum, (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum dan (iii) penegakan hukum. Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) administrasi hukum yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut diatas. Dalam arti luas, The administration of law itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah sikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara(beschikings), ataupun penetapan dan putusan (vonius) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka?. Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya?. Meskipun ada teori “fiktie” yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidak tahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosial dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.
Dalam hidup sehari-hari sering kita jumpai pernyataan sinis dari masyarakat bahwa hukum di negara kita belum ditegakkan sebagaimana adanya. Pernyataan ini bukannya lahir instan begitu saja tanpa alasan, tetapi lahir sebagai ungkapan rasa ketidak puasan atas fakta-fakta penegakkan hukum yang dalam banyak kasus masih sangat jauh dari harapan kehidupan bernegara hukum di negara kita. Tingkat kesadaran hukum masyarakat rupanya telah maju sedemikian rupa sehingga adanya ketidak betulan dalam hal penegakkan hukum langsung diresponi negative oleh masyarakat.
Masyarakat saat ini telah mengerti betul apa tujuan adanya hukum. Merujuk pendapat Radbrurh, tujuan hukum itu setidaknya harus memenuhi tiga hal pokok yang sangat prinsipil yang hendak dicapai, yaitu : Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan.
Keadilan secara secara gramatical berasal dari kata adil yang artinya seimbang dan tidak berat sebelah. Dr. Andi Hamzah, SH dalam ”Kamus Hukum” memberikan pengertian keadilan adalah keseimbangan antara yang patut diperoleh pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian, merupakan salah satu sifat hukum disamping kemanfaatan.
Dalam bahasa praktisnya, keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan menurut Geny tidaklah ada artinya sama sekali.
Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Mengutip pendapat Lawrence M. Wriedman, seorang Guru Besar di Stanford University, berpendapat bahwa untuk mewujudkan ”kepastian hukum” paling tidak haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai berikut, yakni : (1) substansi hukum, (2) aparatur hukum, dan (3) budaya hukum.
Unsur pertama “substansi hukum” berbicara tentang isi daripada ketentuan-ketentuan tertulis dari hukum itu sendiri. Unsur kedua adalah “aparatur hukum” adalah perangkat, berupa system tata kerja dan pelaksana daripada apa yang diatur dalam substansi hukum tadi. Sedangkan unsur yang terakhir adalah “budaya hukum” yang menjadi pelengkap untuk mendorong terwujudnya “kepastian hukum” adalah bagaimana budaya hukum masyarakat atas ketentuan hukum dan aparatur hukumnya. Unsur budaya hukum ini juga tidak kalah pentingnya dari kedua unsur diatas, karena tegaknya peraturan-peraturan hukum akan sangat bergantung kepada “budaya hukum” masyarakatnya. Dan budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.
Substansi hukum, aparatur hukum serta budaya hukum seperti telah dikemukakan di atas, idealnya harus di-sinergikan guna mendorong terwujudnya “kepastian hukum“ di negara hukum manapun di dunia ini. Satu sama lain harus memiliki sifat saling ketergantungan (dependency), salah satu unsur saja tidak terpenuhi, maka “kepastian hukum“ sulit untuk terwujud.
Sedangkan dari sisi kemanfaatannya, hukum seyogyanya membawa kegunaan dalam tata sinergis antara keadilan dan kepastiannya. Sehingga dalam praktek, hukum membawa akibat (manfaat) terciptanya rasa terlindung dan keteraturan dalam hidup bersama dalam masyarakat.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam interaksi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas, yang diartikan sebagai upaya penegakan hukum yang melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalam bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Dengan uraian diatas menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
PENEGAKAN HUKUM OBYEKTIF
Seperti disebut di atas bahwa secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal menunjuk hanya kepada peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam praktek sehari-hari, kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya.
Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara pararel dan bersilang. Karena itu secara akademis, Hak Asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsi ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstiotusionalisme inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar pada hukum (Constitutional democracy).
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Karena apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasi manusia itu sendiri?. Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak asasi manusia “. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesadaran untuk mengghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan kita pun memang belum berkembang secara sehat.
APARATUR PENEGAK HUKUM
Aparatur penegak hukum menunjuk kepada pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparatnya (orangnya). Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Dalam realitanya, tugas atau perannya langsung terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya, aparatur penegak hukum itu, dipengaruhi oleh 3 elemen penting yang sangat berpengaruh yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta perangkat sarana dan prasarana pendukung serta mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk faktor kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor diatas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negra kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang mencita-citakan upaya menegakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu: (i) pembuatan hukum, (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum dan (iii) penegakan hukum. Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) administrasi hukum yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut diatas. Dalam arti luas, The administration of law itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah sikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara(beschikings), ataupun penetapan dan putusan (vonius) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka?. Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya?. Meskipun ada teori “fiktie” yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidak tahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosial dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.
Label:
Artikel hukum
Memberantas Korupsi Ibarat Membersihkan Lantai Bukan Dengan Sapu Yang Kotor Oleh Raimond Flora Lamandasa, SH
(Artikel ini ditulis penulis pada tgl 15 Juni 2007 dan dipublikasi di www.morowali.com).
Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh pengumuman Transparency International (TI), sebuah lembaga terpercaya yang berpusat di Berlin - Jerman bahwa dalam peringkat negara-negara terkorup di dunia, Indonesia merupakan negara terkorup ketujuh. Kenyataan ini membuktikan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih sangat jauh dari memuaskan.
Masalah korupsi dan bagaimana cara mengatasinya sudah sangat banyak dibicarakan oleh para pengamat, penegak hukum, tokoh LSM, pejabat, pendidik dan juga pemimpin umat dari berbagai agama. Namun spirit reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 ditandai dengan runtuhnya rejim Orde Baru, yang salah satu agenda pokoknya adalah “pemberantasan KKN”, ternyata gaungnya mulai meredup. Ironis, karena sampai sekarang belum ada tanda-tanda bahwa korupsi dapat dikurangi apalagi diberantas, Indonesia tetap bertengger sebagai salah satu negara terkorup di dunia.
Korupsi sudah melanda negeri ini sejak lama dan dalam skala besar dan hampir merasuki semua aspek kehidupan. Ia terjadi di birokrasi, pengadilan, perbankan, BUMN, bantuan luar negeri, pendidikan, swasta dan lembaga keuangan. Korupsi berlangsung terus dalam bentuk yang lebih canggih, lebih merata, dan dilakukan secara terang-terangan, tanpa malu. Suatu kenyataan yang sangat memiriskan hati bahwa ditengah-tengah upaya Presiden SBY memberantas korupsi, yang terjadi justru korupsi semakin mengakar dan kronis. Sebut saja beberapa bukti yang menunjukkan tingkat korupsi di Indonesia yang begitu parah yang ditunjukkan oleh KPK – Komisi Pemberantasan Korupsi (Jawa Pos 7/11/2006) :
Pertama, survei the Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) Januari - Februari 2005 terhadap 900 ekspatriat di Asia, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup se-Asia. Kedua, kebocoran dana pembangunan mencapai 50 persen dan pungutan tidak resmi mencapai 30 persen biaya produksi. Ketiga, rendahnya pertumbuhan ekonomi (5,1 persen), indeks kualitas SDM dan tingginya angka kemiskinan (16,6 persen) dan pengangguran (9,7 persen). Keempat, utang pemerintah meningkat drastis menjadi sekitar US$ 70 miliar pada 2004, membengkak hingga antara aset pemerintah dengan utang defisit Rp. 555 triliun. Kelima, laporan BPK 1999-2004, penyelewengan uang negara terjadi Rp 166,5 triliun, yang Rp 144 triliun adalah pelanggaran BLBI.
Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari nilai APBN 2004 Rp 584 triliun, Rp 23 triliun telah dikorupsi. Lebih lanjut, KPK menyatakan, pelaku korupsi yang paling banyak adalah anggota legislatif, yakni 37 persen, disusul pejabat dinas pemda 18 persen, eksekutif 15 persen, pimpro 10 persen, parpol 3 persen, dan kepolisian 2 persen.
Temuan KPK tersebut tak jauh berbeda dengan yang dirilis Mendagri, yang menyebut ada sekitar 1.110 pejabat daerah korup. Pejabat daerah tersebut meliputi 7 gubernur, 60 bupati/wali kota, 327 anggota DPRD provinsi dan 735 anggota DPRD kab/kota di seluruh Indonesia. Mereka diduga melakukan korupsi pada 2004-2006.
Mengguritanya korupsi itu diungkapkan juga oleh mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif. Korupsi sudah sedemikian kuat membelenggu kita, mulai dari istana sampai kantor kelurahan, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Bahkan merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet.
Korupsi telah menjadi penyebab utama terpuruknya perekonomian bangsa, dan menjadi penghalang dalam upaya mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran. Korupsi yang meluas membuat kesejahteraan rakyat semakin terhempas. Menjadi pertanyaan kemudian, sampai sejauh manakah ”strong political-will dan full commitment” dari pemerintah dan semua lini penegak hukum untuk memberantasnya? Ini harus menjadi perenungan kita bersama.
Dari sudut kelembagaan sudah ada KPK dengan kewenangan yang sangat luas, termasuk peradilan ad hoc tipikor. Lalu ada juga Timtas Tipikor, selain peradilan umum yang juga melakukan penuntutan korupsi. Jadi, dari sudut substansi dan kelembagaan, pemberantasan korupsi sudah sangat memadai.
Meski demikian, ternyata penanganan korupsi masih sangat mengecewakan dan dinilai masih dalam praktik "tebang pilih". Artinya, masih banyak kasus besar yang belum tersentuh pengadilan dan terkesan dilindungi oleh kekuasaan. Banyak putusan hakim yang kental isu suap. Banyak kasus yang ditangani, tapi ketika sampai di pengadilan banyak terdakwanya yang dibebaskan. Padahal menurut perasaan keadilan masyarakat atau pun berdasarkan fakta yang muncul di pengadilan, seharusnya hakim memutuskan sebagai terbukti bersalah.
Selain itu masih terdapat hambatan serius dimana political will dan moral hazard pemegang kekuasaan, anggota DPR, dan lingkungan peradilan masih lemah. Salah satu hambatan adalah ketentuan yang menyatakan, untuk memeriksa dugaan korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah dan anggota DPR diperlukakan izin tertulis presiden. Ini tidak sesuai dengan asas equality before the law.
Menghadapi beban penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi yang semakin canggih dan kompleks, lembaga kejaksaan sebagai ujung tombak penegak hukum, mutlak perlu membenahi diri ke dalam dan mereformasi diri. Salah satu agenda penting dalam reformasi lembaga kejaksaan adalah bagaimana lembaga ini dapat menjadi lembaga yang bebas dari intervensi politik. Politisasi hukum sudah berlangsung lama dan ini harus dijadikan agenda reformasi untuk menjadikan lembaga kejaksaan steril dari pengaruh politik dan kepentingan politik. Masyarakat tidak ingin melihat Kejaksaan c.q. Kejaksaan Agung mengejar tersangka koruptor yang berubah dari waktu ke waktu bergantung kepada siapa atasannya atau presidennya. Tersangka tindak pidana korupsi pada jaman pemerintahan Habibie berbeda dengan pada pemerintahan Abdurahman Wahid, pada jaman Megawati dan juga pada jaman SBY. Perubahan target tersangka tersebut dapat dijadikan indikator betapa lembaga kejaksaan telah dijadikan alat politk oleh kekuasaaan yang memerintah. Inilah yang harus dijadikan perhatian utama dalam reformasi lembaga kejaksaan.
Mengakhiri tulisan ini, kiranya penting untuk menyimpulkan artikel ini dengan beberapa isu yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah kalau ingin sungguh-sungguh mau memberantas korupsi :
1. Menerapkan good governance di lembaga-lembaga pemerintah dan penegak hukum.
2. Menjadikan lembaga-lembaga penegak hukum bersih, profesional dan berintegritas.
3. Lembaga kejaksaan harus steril dari pengaruh politik dan kepentingan politik.
4. Mengadakan terobosan (shock therapy) dengan menghukum berat para pelaku korupsi dalam rangka kampanye anti korupsi.
5. Mensosialisasikan gerakan anti korupsi sebagai gerakan sosial dan pemberian contoh hidup jujur, sederhana dan berintegritas oleh para pemimpin formal, khususnya di lembaga-lembaga pemerintah.
6. Mendidik anak-anak sejak dini untuk bersikap anti korupsi, yang berarti merubah kurikulum pendidikan yang indotrinatif ke arah pendidikan yang dapat menciptakan manusia yang mempunyai pemikiran bebas dan liberal.
Pemberantasan korupsi haruslah ibarat membersihkan lantai kotor bukan dengan sapu yang kotor tetapi dengan sapu yang bersih. Dengan begitu efektifitas pembersihannya akan tercapai sesuai harapan kita.
Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh pengumuman Transparency International (TI), sebuah lembaga terpercaya yang berpusat di Berlin - Jerman bahwa dalam peringkat negara-negara terkorup di dunia, Indonesia merupakan negara terkorup ketujuh. Kenyataan ini membuktikan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih sangat jauh dari memuaskan.
Masalah korupsi dan bagaimana cara mengatasinya sudah sangat banyak dibicarakan oleh para pengamat, penegak hukum, tokoh LSM, pejabat, pendidik dan juga pemimpin umat dari berbagai agama. Namun spirit reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 ditandai dengan runtuhnya rejim Orde Baru, yang salah satu agenda pokoknya adalah “pemberantasan KKN”, ternyata gaungnya mulai meredup. Ironis, karena sampai sekarang belum ada tanda-tanda bahwa korupsi dapat dikurangi apalagi diberantas, Indonesia tetap bertengger sebagai salah satu negara terkorup di dunia.
Korupsi sudah melanda negeri ini sejak lama dan dalam skala besar dan hampir merasuki semua aspek kehidupan. Ia terjadi di birokrasi, pengadilan, perbankan, BUMN, bantuan luar negeri, pendidikan, swasta dan lembaga keuangan. Korupsi berlangsung terus dalam bentuk yang lebih canggih, lebih merata, dan dilakukan secara terang-terangan, tanpa malu. Suatu kenyataan yang sangat memiriskan hati bahwa ditengah-tengah upaya Presiden SBY memberantas korupsi, yang terjadi justru korupsi semakin mengakar dan kronis. Sebut saja beberapa bukti yang menunjukkan tingkat korupsi di Indonesia yang begitu parah yang ditunjukkan oleh KPK – Komisi Pemberantasan Korupsi (Jawa Pos 7/11/2006) :
Pertama, survei the Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) Januari - Februari 2005 terhadap 900 ekspatriat di Asia, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup se-Asia. Kedua, kebocoran dana pembangunan mencapai 50 persen dan pungutan tidak resmi mencapai 30 persen biaya produksi. Ketiga, rendahnya pertumbuhan ekonomi (5,1 persen), indeks kualitas SDM dan tingginya angka kemiskinan (16,6 persen) dan pengangguran (9,7 persen). Keempat, utang pemerintah meningkat drastis menjadi sekitar US$ 70 miliar pada 2004, membengkak hingga antara aset pemerintah dengan utang defisit Rp. 555 triliun. Kelima, laporan BPK 1999-2004, penyelewengan uang negara terjadi Rp 166,5 triliun, yang Rp 144 triliun adalah pelanggaran BLBI.
Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari nilai APBN 2004 Rp 584 triliun, Rp 23 triliun telah dikorupsi. Lebih lanjut, KPK menyatakan, pelaku korupsi yang paling banyak adalah anggota legislatif, yakni 37 persen, disusul pejabat dinas pemda 18 persen, eksekutif 15 persen, pimpro 10 persen, parpol 3 persen, dan kepolisian 2 persen.
Temuan KPK tersebut tak jauh berbeda dengan yang dirilis Mendagri, yang menyebut ada sekitar 1.110 pejabat daerah korup. Pejabat daerah tersebut meliputi 7 gubernur, 60 bupati/wali kota, 327 anggota DPRD provinsi dan 735 anggota DPRD kab/kota di seluruh Indonesia. Mereka diduga melakukan korupsi pada 2004-2006.
Mengguritanya korupsi itu diungkapkan juga oleh mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif. Korupsi sudah sedemikian kuat membelenggu kita, mulai dari istana sampai kantor kelurahan, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Bahkan merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet.
Korupsi telah menjadi penyebab utama terpuruknya perekonomian bangsa, dan menjadi penghalang dalam upaya mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran. Korupsi yang meluas membuat kesejahteraan rakyat semakin terhempas. Menjadi pertanyaan kemudian, sampai sejauh manakah ”strong political-will dan full commitment” dari pemerintah dan semua lini penegak hukum untuk memberantasnya? Ini harus menjadi perenungan kita bersama.
Dari sudut kelembagaan sudah ada KPK dengan kewenangan yang sangat luas, termasuk peradilan ad hoc tipikor. Lalu ada juga Timtas Tipikor, selain peradilan umum yang juga melakukan penuntutan korupsi. Jadi, dari sudut substansi dan kelembagaan, pemberantasan korupsi sudah sangat memadai.
Meski demikian, ternyata penanganan korupsi masih sangat mengecewakan dan dinilai masih dalam praktik "tebang pilih". Artinya, masih banyak kasus besar yang belum tersentuh pengadilan dan terkesan dilindungi oleh kekuasaan. Banyak putusan hakim yang kental isu suap. Banyak kasus yang ditangani, tapi ketika sampai di pengadilan banyak terdakwanya yang dibebaskan. Padahal menurut perasaan keadilan masyarakat atau pun berdasarkan fakta yang muncul di pengadilan, seharusnya hakim memutuskan sebagai terbukti bersalah.
Selain itu masih terdapat hambatan serius dimana political will dan moral hazard pemegang kekuasaan, anggota DPR, dan lingkungan peradilan masih lemah. Salah satu hambatan adalah ketentuan yang menyatakan, untuk memeriksa dugaan korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah dan anggota DPR diperlukakan izin tertulis presiden. Ini tidak sesuai dengan asas equality before the law.
Menghadapi beban penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi yang semakin canggih dan kompleks, lembaga kejaksaan sebagai ujung tombak penegak hukum, mutlak perlu membenahi diri ke dalam dan mereformasi diri. Salah satu agenda penting dalam reformasi lembaga kejaksaan adalah bagaimana lembaga ini dapat menjadi lembaga yang bebas dari intervensi politik. Politisasi hukum sudah berlangsung lama dan ini harus dijadikan agenda reformasi untuk menjadikan lembaga kejaksaan steril dari pengaruh politik dan kepentingan politik. Masyarakat tidak ingin melihat Kejaksaan c.q. Kejaksaan Agung mengejar tersangka koruptor yang berubah dari waktu ke waktu bergantung kepada siapa atasannya atau presidennya. Tersangka tindak pidana korupsi pada jaman pemerintahan Habibie berbeda dengan pada pemerintahan Abdurahman Wahid, pada jaman Megawati dan juga pada jaman SBY. Perubahan target tersangka tersebut dapat dijadikan indikator betapa lembaga kejaksaan telah dijadikan alat politk oleh kekuasaaan yang memerintah. Inilah yang harus dijadikan perhatian utama dalam reformasi lembaga kejaksaan.
Mengakhiri tulisan ini, kiranya penting untuk menyimpulkan artikel ini dengan beberapa isu yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah kalau ingin sungguh-sungguh mau memberantas korupsi :
1. Menerapkan good governance di lembaga-lembaga pemerintah dan penegak hukum.
2. Menjadikan lembaga-lembaga penegak hukum bersih, profesional dan berintegritas.
3. Lembaga kejaksaan harus steril dari pengaruh politik dan kepentingan politik.
4. Mengadakan terobosan (shock therapy) dengan menghukum berat para pelaku korupsi dalam rangka kampanye anti korupsi.
5. Mensosialisasikan gerakan anti korupsi sebagai gerakan sosial dan pemberian contoh hidup jujur, sederhana dan berintegritas oleh para pemimpin formal, khususnya di lembaga-lembaga pemerintah.
6. Mendidik anak-anak sejak dini untuk bersikap anti korupsi, yang berarti merubah kurikulum pendidikan yang indotrinatif ke arah pendidikan yang dapat menciptakan manusia yang mempunyai pemikiran bebas dan liberal.
Pemberantasan korupsi haruslah ibarat membersihkan lantai kotor bukan dengan sapu yang kotor tetapi dengan sapu yang bersih. Dengan begitu efektifitas pembersihannya akan tercapai sesuai harapan kita.
Label:
Artikel hukum
Membangun Rezim Anti Pencucian Uang Di Indonesia Oleh Raimond Flora Lamandasa, SH
(Artikel ini ditulis penulis pada tgl 20 Juni 2007 dan dipublikasi di www.morowali.com).
Hari ini, Selasa tanggal 20 Juni 2007 bertempat di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta diadakan seminar sehari tentang pencucian uang (money laundering), kerjasama antara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Memang sejak diundangkannya UU No.15 tahun 2002 yang telah dirubah dengan UU No.25 tahun 2003, istilah money laundering di Indonesia semakin menggaung. Salah satu penyebabnya adalah karena sejak tahun 2001, Indonesia dimasukkan dalam daftar hitam (black list) Financial Action Task Force (FATF) suatu lembaga yang dibentuk oleh negara-negara G7, dimana Indonesia dinyatakan sebagai salah satu surga tempat pencucian uang di dunia. Dampak dimasukannya Indonesia dalam black list ini salah satunya dari sisi ekonomis terjadi peningkatan biaya transaksi lembaga keuangan domestik, dan dari sisi politis memperburuk citra Indonesia dimata internasional. Masuknya Indonesia dalam black list ini disebabkan karena tingginya angka korupsi, perdagangan narkotika, drugs dan psikotropika, illegal logging, penyelundupan orang dan barang, trafficking dan smuggling.
Lalu apa yang dimaksud dengan money laundering itu? Tidak ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang disebut pencucian uang atau money laundering. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-negara yang telah maju, dan negara-negara dari dunia ketiga, masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Definisi untuk tujuan penuntutan lebih sempit dibandingkan dengan definisi untuk tujuan penyidikan.
Prof. Sutan Remi Sjahdeini, salah seorang pakar hukum perbankan di Indonesia mengemukakan bahwa pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.
Definisi diatas cukup lengkap namun terlalu panjang, untuk itu penulis secara singkat menyimpulkan bahwa pencucian uang (money laundering) adalah upaya untuk melegalkan penghasilan illegal (legitimizing illegitimate income). Penghasilan illegal tersebut berasal dari hasil tindakan-tindakan kejahatan berupa : korupsi, penyuapan, penyelundupan, transaksi perbankan, pasar modal, asuransi, narkotika, psikotropika, terorisme, pemalsuan uang, judi dan atau prostitusi. Pasal 2 UU No.15 tahun 2002 mengkualifisir 24 jenis tindak kejahatan yang menjadi sumber asal terjadinya uang untuk tindakan money laundering.
Selanjutnya, apa dampak dari terjadinya pencucian uang itu? Pencucian uang membawa dampak yang sangat besar baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi hukum dan sosial. Dari sisi ekonomi, ia bisa menyebabkan instabilitas sistem keuangan, mendistorsi sistem persaingan bebas, mempersulit pengendalian moneter serta meningkatnya country risk. Faktanya dikehidupan sehari-hari, terjadilah peningkatan biaya sosial (social cost) diseluruh aspek kehidupan. Sedangkan dari sisi hukum dan sosial, pencucian uang mengakibatkan meningkatnya kejahatan baik kuantitas maupun kualitas yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial. Mengapa kejahatan meningkat? Karena uang hasil dari kejahatan itu akan dijadikan sebagai sumber dana terhadap kejahatan-kejahatan lainnya. Sehingga terjadilah lingkaran setan yang sulit diputus rangkaiannya.
Lalu mengapa tindakan pencucian uang menjadi marak dan tumbuh begitu subur ? Tentang hal ini Prof. Sutan Remi Sjahdeini menyatakan ada 9 faktor penyebabnya, yaitu :
1. Globalisasi, telah menghilangkan sekat-sekat dan isolasi antar negara, sehingga apa yang terjadi di belahan dunia yang satu pada saat yang bersamaan juga langsung sampai ke belahan dunia lainnya.
2. Kemajuan teknologi yang sangat cepat sangat memungkinkan terjadinya hal ini karena hampir tidak ada lagi aspek kehidupan yang tidak dijangkau dengan teknologi, khususnya teknologi informatika.
3. Ketentuan rahasia bank yang sangat ketat dari negara yang bersangkutan.
4. Dimungkinkannya oleh ketentuan perbankan seseorang menyimpan dana di suatu bank dilakukan dengan menggunakan nama samaran atau tanpa nama (anonim).
5. Munculnya jenis uang baru yang disebut electronic money atau E-money, yaitu sehubungan dengan maraknya electronic commerce atau e-commerce melalui internet. Money laundering yang dilakukan dengan menggunakan jaringan internet, yang disebut pula dengan Cyberspace, disebut Cyberlaundering.
6. Dimungkinkannya layering (pelapisan) dalam perbankan dimana pihak yang menyimpan dana di bank (nasabah penyimpan dana atau deposan bank) bukanlah pemilik yang sesungguhnya dari dana itu. Deposan tersebut hanyalah sekedar bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan uang itu di sebuah bank. Sering pula terjadi bahwa pihak lain tersebut juga bukan pemilik yang sesungguhnya dari dana itu, tetapi hanya sekadar menerima amanah atau kuasa dari seseorang atau pihak lain yang menerima kuasa dari pemilik yang sesungguhnya. Dengan kata lain, penyimpan dana tersebut juga tidak mengetahui siapa pemilik yang sesungguhnya dari dana tersebut, karena dia hanya mendapat amanah dari kuasa pemilik. Bahkan sering terjadi bahwa orang yang memberi amanat kepada penyimpan dana yang memanfaatkan uang itu di bank ternyata adalah lapis yang kesekian sebelum sampai kepada pemilik yang sesungguhnya. Dengan kata lain, terjadi estafet secara berlapis-lapis. Biasanya para penerima kuasa yang bertindak berlapis-lapis secara estafet itu adalah kantor-kantor pengacara.
7. Berlakunya ketentuan hukum berkenaan dengan kerahasiaan hubungan antara lawyer dan kliennya, dan antara akuntan dan kliennya. Dana simpanan di bank-bank sering diatasnamakan suatu kantor pengacara. Menurut hukum di kebanyakan negara yang telah maju, kerahasiaan hubungan antara klien dan lawyer dilindungi oleh undang-undang. Para lawyer yang menyimpan dana simpanan di bank atas nama kliennya tidak dapat dipaksa oleh otoritas yang berwenang untuk mengungkapkan identitas kliennya.
8. Karena pemerintah dari negara yang bersangkutan tidak pernah bermaksud bersungguh-sungguh untuk memberantas praktik-praktik money laundering yang dilakukan melalui sistem perbankan di negara tersebut. Dengan kata lain, pemerintah yang bersangkutan memang dengan sengaja membiarkan praktik-praktik money laundering itu berlangsung di negara tersebut, karena negara yang bersangkutan memperoleh keuntungan dari dilakukannya penempatan uang-uang haram itu di perbankan negara tersebut. Keuntungan yang diperoleh misalnya, terkumpulnya dana di perbankan negara tersebut yang sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan, atau terkumpulnya dana itu memungkinkan perbankan negara tersebut memperoleh banyak keuntungan dari penyaluran dana itu, yang lebih lanjut akan dapat memberikan kontribusi berupa pajak yang besar kepada negara.
9. Karena tidak dikriminalisasikannya perbuatan pencucian uang di negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, negara yang bersangkutan tidak memiliki undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang menentukan perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana. Belum adanya undang-undang tentang pemberantasan tindak pencucian uang di negara tersebut biasanya juga karena adanya keengganan dari negara tersebut untuk bersungguh-sungguh ikut memberantas praktik money laundering di negaranya masing-masing.
Kembali ke Indonesia, pertanyaan bagi kita ialah bagaimana mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi angka praktek pencucian uang ? Secara kelembagaan, berdasarkan UU No.15 tahun 2002, presiden memang telah membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga independent yang bertugas khusus sebagai lembaga sentral intelligent keuangan, regulator dibidang anti pencucian uang serta sebagai focal point pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dalam rangka tugas-tugas ini PPATK akan melakukan analisis keuangan (analisa atas cash flow) dari siapapun berdasarkan laporan-laporan dari penyedia jasa keuangan (PJK) seperti bank, pasar modal, asuransi dan lain-lain. Selanjutnya hasil analisis ini akan diserahkan kepada penyidik dan penuntut umum untuk dilakukan proses hukum selanjutnya.
Dari data PPATK per tanggal 16 April 2007, telah masuk laporan 8.168 kasus, seluruhnya dari PJK yang didominasi dari PJK perbankan. Dari masyarakat umum baik perorangan maupun kolektif belum ada laporan. Dan dari angka itu telah dianalisa oleh PPATK sebanyak 705 kasus, dan 466 kasus diantaranya telah diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk di proceed. Ini menunjukan bahwa selama adanya PPATK telah cukup direspons oleh PJK-PJK yang ada, tetapi itu belumlah cukup mengingat tingginya angka kasus-kasus hukum seperti korupsi, narkoba, penyelundupan, dan lain-lain saat ini. Untuk itu sangat diharapkan dukungan, peran serta partisipasi aktif dari semua pihak baik dari PJK maupun masyarakat umum untuk aktif melaporkan adanya indikasi mencurigakan telah terjadinya praktek pencucian uang. Tak perlu segan atau takut memberikan laporan adanya indikasi praktek pencucian uang, karena pelapor sepenuhnya dilindungi oleh UU. Negara akan memberikan perlindungan baik terhadap diri pribadi maupun terhadap keluarga pelapor. Mekanisme perlindungan ini secara rinci terdapat dalam UUNo.15 tahun 2002 yang telah diubah dengan UU N.25 tahun 2003 dengan pembiayaan oleh negara. Jadi ingin penulis sampaikan bahwa keberhasilan kita menekan angka kejahatan pencucian uang di Indonesia tidak semata menjadi tanggung jawab PPATK tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama seluruh warga Negara Indonesia, tidak terkecuali. Spirit anti money laundering (AML) perlu ditumbuh-kembangkan diantara kita. Perlu sinergis yang lebih efektif antara PPATK, penegak hukum dengan seluruh warga Negara Indonesia. Diharapkan dengan partisipasi aktif ini tidak akan terjadi lagi kasus-kasus kebocoran dana Negara sehingga pembangunan disegala bidang demi kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia kembali kepada track yang sebenarnya.
Hari ini, Selasa tanggal 20 Juni 2007 bertempat di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta diadakan seminar sehari tentang pencucian uang (money laundering), kerjasama antara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Memang sejak diundangkannya UU No.15 tahun 2002 yang telah dirubah dengan UU No.25 tahun 2003, istilah money laundering di Indonesia semakin menggaung. Salah satu penyebabnya adalah karena sejak tahun 2001, Indonesia dimasukkan dalam daftar hitam (black list) Financial Action Task Force (FATF) suatu lembaga yang dibentuk oleh negara-negara G7, dimana Indonesia dinyatakan sebagai salah satu surga tempat pencucian uang di dunia. Dampak dimasukannya Indonesia dalam black list ini salah satunya dari sisi ekonomis terjadi peningkatan biaya transaksi lembaga keuangan domestik, dan dari sisi politis memperburuk citra Indonesia dimata internasional. Masuknya Indonesia dalam black list ini disebabkan karena tingginya angka korupsi, perdagangan narkotika, drugs dan psikotropika, illegal logging, penyelundupan orang dan barang, trafficking dan smuggling.
Lalu apa yang dimaksud dengan money laundering itu? Tidak ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang disebut pencucian uang atau money laundering. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-negara yang telah maju, dan negara-negara dari dunia ketiga, masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Definisi untuk tujuan penuntutan lebih sempit dibandingkan dengan definisi untuk tujuan penyidikan.
Prof. Sutan Remi Sjahdeini, salah seorang pakar hukum perbankan di Indonesia mengemukakan bahwa pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.
Definisi diatas cukup lengkap namun terlalu panjang, untuk itu penulis secara singkat menyimpulkan bahwa pencucian uang (money laundering) adalah upaya untuk melegalkan penghasilan illegal (legitimizing illegitimate income). Penghasilan illegal tersebut berasal dari hasil tindakan-tindakan kejahatan berupa : korupsi, penyuapan, penyelundupan, transaksi perbankan, pasar modal, asuransi, narkotika, psikotropika, terorisme, pemalsuan uang, judi dan atau prostitusi. Pasal 2 UU No.15 tahun 2002 mengkualifisir 24 jenis tindak kejahatan yang menjadi sumber asal terjadinya uang untuk tindakan money laundering.
Selanjutnya, apa dampak dari terjadinya pencucian uang itu? Pencucian uang membawa dampak yang sangat besar baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi hukum dan sosial. Dari sisi ekonomi, ia bisa menyebabkan instabilitas sistem keuangan, mendistorsi sistem persaingan bebas, mempersulit pengendalian moneter serta meningkatnya country risk. Faktanya dikehidupan sehari-hari, terjadilah peningkatan biaya sosial (social cost) diseluruh aspek kehidupan. Sedangkan dari sisi hukum dan sosial, pencucian uang mengakibatkan meningkatnya kejahatan baik kuantitas maupun kualitas yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial. Mengapa kejahatan meningkat? Karena uang hasil dari kejahatan itu akan dijadikan sebagai sumber dana terhadap kejahatan-kejahatan lainnya. Sehingga terjadilah lingkaran setan yang sulit diputus rangkaiannya.
Lalu mengapa tindakan pencucian uang menjadi marak dan tumbuh begitu subur ? Tentang hal ini Prof. Sutan Remi Sjahdeini menyatakan ada 9 faktor penyebabnya, yaitu :
1. Globalisasi, telah menghilangkan sekat-sekat dan isolasi antar negara, sehingga apa yang terjadi di belahan dunia yang satu pada saat yang bersamaan juga langsung sampai ke belahan dunia lainnya.
2. Kemajuan teknologi yang sangat cepat sangat memungkinkan terjadinya hal ini karena hampir tidak ada lagi aspek kehidupan yang tidak dijangkau dengan teknologi, khususnya teknologi informatika.
3. Ketentuan rahasia bank yang sangat ketat dari negara yang bersangkutan.
4. Dimungkinkannya oleh ketentuan perbankan seseorang menyimpan dana di suatu bank dilakukan dengan menggunakan nama samaran atau tanpa nama (anonim).
5. Munculnya jenis uang baru yang disebut electronic money atau E-money, yaitu sehubungan dengan maraknya electronic commerce atau e-commerce melalui internet. Money laundering yang dilakukan dengan menggunakan jaringan internet, yang disebut pula dengan Cyberspace, disebut Cyberlaundering.
6. Dimungkinkannya layering (pelapisan) dalam perbankan dimana pihak yang menyimpan dana di bank (nasabah penyimpan dana atau deposan bank) bukanlah pemilik yang sesungguhnya dari dana itu. Deposan tersebut hanyalah sekedar bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan uang itu di sebuah bank. Sering pula terjadi bahwa pihak lain tersebut juga bukan pemilik yang sesungguhnya dari dana itu, tetapi hanya sekadar menerima amanah atau kuasa dari seseorang atau pihak lain yang menerima kuasa dari pemilik yang sesungguhnya. Dengan kata lain, penyimpan dana tersebut juga tidak mengetahui siapa pemilik yang sesungguhnya dari dana tersebut, karena dia hanya mendapat amanah dari kuasa pemilik. Bahkan sering terjadi bahwa orang yang memberi amanat kepada penyimpan dana yang memanfaatkan uang itu di bank ternyata adalah lapis yang kesekian sebelum sampai kepada pemilik yang sesungguhnya. Dengan kata lain, terjadi estafet secara berlapis-lapis. Biasanya para penerima kuasa yang bertindak berlapis-lapis secara estafet itu adalah kantor-kantor pengacara.
7. Berlakunya ketentuan hukum berkenaan dengan kerahasiaan hubungan antara lawyer dan kliennya, dan antara akuntan dan kliennya. Dana simpanan di bank-bank sering diatasnamakan suatu kantor pengacara. Menurut hukum di kebanyakan negara yang telah maju, kerahasiaan hubungan antara klien dan lawyer dilindungi oleh undang-undang. Para lawyer yang menyimpan dana simpanan di bank atas nama kliennya tidak dapat dipaksa oleh otoritas yang berwenang untuk mengungkapkan identitas kliennya.
8. Karena pemerintah dari negara yang bersangkutan tidak pernah bermaksud bersungguh-sungguh untuk memberantas praktik-praktik money laundering yang dilakukan melalui sistem perbankan di negara tersebut. Dengan kata lain, pemerintah yang bersangkutan memang dengan sengaja membiarkan praktik-praktik money laundering itu berlangsung di negara tersebut, karena negara yang bersangkutan memperoleh keuntungan dari dilakukannya penempatan uang-uang haram itu di perbankan negara tersebut. Keuntungan yang diperoleh misalnya, terkumpulnya dana di perbankan negara tersebut yang sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan, atau terkumpulnya dana itu memungkinkan perbankan negara tersebut memperoleh banyak keuntungan dari penyaluran dana itu, yang lebih lanjut akan dapat memberikan kontribusi berupa pajak yang besar kepada negara.
9. Karena tidak dikriminalisasikannya perbuatan pencucian uang di negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, negara yang bersangkutan tidak memiliki undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang menentukan perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana. Belum adanya undang-undang tentang pemberantasan tindak pencucian uang di negara tersebut biasanya juga karena adanya keengganan dari negara tersebut untuk bersungguh-sungguh ikut memberantas praktik money laundering di negaranya masing-masing.
Kembali ke Indonesia, pertanyaan bagi kita ialah bagaimana mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi angka praktek pencucian uang ? Secara kelembagaan, berdasarkan UU No.15 tahun 2002, presiden memang telah membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga independent yang bertugas khusus sebagai lembaga sentral intelligent keuangan, regulator dibidang anti pencucian uang serta sebagai focal point pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dalam rangka tugas-tugas ini PPATK akan melakukan analisis keuangan (analisa atas cash flow) dari siapapun berdasarkan laporan-laporan dari penyedia jasa keuangan (PJK) seperti bank, pasar modal, asuransi dan lain-lain. Selanjutnya hasil analisis ini akan diserahkan kepada penyidik dan penuntut umum untuk dilakukan proses hukum selanjutnya.
Dari data PPATK per tanggal 16 April 2007, telah masuk laporan 8.168 kasus, seluruhnya dari PJK yang didominasi dari PJK perbankan. Dari masyarakat umum baik perorangan maupun kolektif belum ada laporan. Dan dari angka itu telah dianalisa oleh PPATK sebanyak 705 kasus, dan 466 kasus diantaranya telah diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk di proceed. Ini menunjukan bahwa selama adanya PPATK telah cukup direspons oleh PJK-PJK yang ada, tetapi itu belumlah cukup mengingat tingginya angka kasus-kasus hukum seperti korupsi, narkoba, penyelundupan, dan lain-lain saat ini. Untuk itu sangat diharapkan dukungan, peran serta partisipasi aktif dari semua pihak baik dari PJK maupun masyarakat umum untuk aktif melaporkan adanya indikasi mencurigakan telah terjadinya praktek pencucian uang. Tak perlu segan atau takut memberikan laporan adanya indikasi praktek pencucian uang, karena pelapor sepenuhnya dilindungi oleh UU. Negara akan memberikan perlindungan baik terhadap diri pribadi maupun terhadap keluarga pelapor. Mekanisme perlindungan ini secara rinci terdapat dalam UUNo.15 tahun 2002 yang telah diubah dengan UU N.25 tahun 2003 dengan pembiayaan oleh negara. Jadi ingin penulis sampaikan bahwa keberhasilan kita menekan angka kejahatan pencucian uang di Indonesia tidak semata menjadi tanggung jawab PPATK tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama seluruh warga Negara Indonesia, tidak terkecuali. Spirit anti money laundering (AML) perlu ditumbuh-kembangkan diantara kita. Perlu sinergis yang lebih efektif antara PPATK, penegak hukum dengan seluruh warga Negara Indonesia. Diharapkan dengan partisipasi aktif ini tidak akan terjadi lagi kasus-kasus kebocoran dana Negara sehingga pembangunan disegala bidang demi kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia kembali kepada track yang sebenarnya.
Label:
Artikel hukum
Rabu, 21 Mei 2008
Sertifikat Sebagai Alat Bukti Hak Atas Tanah Oleh Raimond Flora Lamandasa, S.H., M.Kn
Kita mengenal macam-macam sertifikat hak atas tanah, ada Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) ataupun Sertifikat Hak atas Satuan Rumah Susun (SHSRS).
Sertifikat hak atas tanah menjadi dambaan dari setiap pemegang hak atas tanah. Serasa masih ada yang kurang dan belum mantap bila pemilikan atau penguasaan atas tanah itu belum disertai bukti pemilikan berupa sertifikat. Hal itu memang benar dan sudah selayaknya setiap orang mengusahakan agar ia memperoleh sertifikat karena Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960 menjamin hal itu bahwa adalah hak dari setiap pemegang hak atas tanah untuk memperoleh sertifikat (UUPA Pasal 4 ayat 1).
Sertifikat memiliki banyak fungsi bagi pemiliknya. Dari sekian fungsi yang ada, dapat dikatakan bahwa fungsi utama dan terutama dari sertifikat adalah sebagai alat bukti yang kuat, demikian dinyatakan dalam pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA. Karena itu, siapapun dapat dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah bila telah jelas namanya tercantum dalam sertifikat itu. Diapun selanjutnya dapat membuktikan mengenai keadaan-keadaan dari tanahnya itu misalnya luasnya, batas-batasnya, ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang tanah dimaksud. Dan jika dikemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang hak kepemilikan / penguasaan atas tanah, maka semua keterangan yang dimuat dalam sertifikat hak atas tanah itu mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan karenanya hakim harus menerima sebagai keterangan-keterangan yang benar, sepanjang tidak ada bukti lain yang mengingkarinya atau membuktikan sebaliknya. Tetapi jika ternyata ada kesalahan didalamnya, maka diadakanlah perubahan / pembetulan seperlunya. Dalam hal ini yang berhak melakukan pembetulan bukanlah pengadilan melainkan instansi yang menerbitkannya yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan jalan pihak yang dirugikan mengajukan permohonan perubahan sertifikat dengan melampirkan surat keputusan pengadilan yang menyatakan tentang adanya kesalahan dimaksud.
Selain fungsi utama tersebut diatas, sertifikat memiliki banyak fungsi lainnya yang sifatnya subjektif tergantung daripada pemiliknya. Sebut saja, misalnya jika pemiliknya adalah pengusaha, maka sertifikat tersebut menjadi sesuatu yang sangat berarti ketika ia memerlukan sumber pembiayaan dari bank karena sertifikat dapat dijadikan sebagai jaminan untuk pemberian fasilitas pinjaman untuk menunjang usahanya. Demikian juga contoh-contoh lainnya masih banyak yang kita bisa sebutkan sebagai kegunaan dari adanya sertifikat tersebut.
Yang jelas bahwa sertifikat hak atas tanah itu akan memberikan rasa aman dan tenteram bagi pemiliknya karena segala sesuatunya mudah diketahui dan sifatnya pasti serta dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Lalu apa yang dimaksud dengan sertifikat itu sendiri ? Untuk mengetahui hal ini, dapat diketengahkan bunyi Pasal 13 ayat 3 PP No.10 tahun 1961 yang menyebutkan bahwa ”Salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut sertifikat dan diberikan kepada yang berhak”.
Dari ketentuan pasal itu kiranya jelaslah bagi kita apa yang dimaksud dengan sertifikat hak atas tanah itu, yaitu sebagai salinan daripada buku tanah dan surat ukur tanah yang diikat menjadi satu. Asli sertifikat itu sendiri adanya di kantor BPN dan kepada tiap-tiap pemegang hak hanya diberikan salinannya saja.
PROSES PENSERTIFIKATAN TANAH
Di Indonesia, dikenal ada dua cara pendaftaran tanah yakni sporadik dan sistematik. Untuk cara sistematik karena ini berkaitan langsung dengan program pemerintah terasa tidak terlalu ada kendala dilapangan. Tetapi bagi yang menempuh cara sporadik atau yang inisiatifnya berasal dari pemilik tanah dengan mengajukan permohonan, pengalaman selama ini pada umumnya serasa banyak masalah. Tidak heran jika selama ini telah terbentuk kesan bahwa untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah itu sangat sulit, memakan waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang mahal. Kesulitan itu biasanya timbul karena berbagai faktor seperti kurang lengkapnya surat-surat tanah yang dimiliki oleh pemohon, kesengajaan dari sementara oknum aparat yang memiliki mental tak terpuji dan/atau karena siklus agraria belum berjalan sebagaimana mestinya. Secara objektif harus diakui bahwa tatacara memperoleh sertifikat itu masih terlalu birokratis, berbelit-belit dan sulit dipahami oleh orang awam. Kenyataan ini sering menimbulkan rasa enggan untuk mengurus sertifikat bila tidak benar-benar mendesak dibutuhkan. Sering pula dirasakan bahwa jumlah biaya, waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk mengurus sertifikat kadangkala tidak sebanding dengan manfaat langsung dari sertifikat itu sendiri. Oleh karena itu kiranya lebih bijaksana apabila diusahakan untuk memperpendek birokrasi tersebut sehingga pelayanan perolehan sertifikat dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat, efektif dan efisien.
Tentang prosedur pengurusan dan penerbitan sertifikat sebetulnya sudah diatur dalam PP No.10 tahun 1961 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Menurut ketentuan tersebut seseorang dalam mengurus sertifikatnya harus melewati 3 (tiga) tahap, yang garis besarnya adalah sebagai berikut :
Tahap 1 : Permohonan hak.
Pemohon sertifikat hak atas tanah dibagi menjadi 4 golongan, dan masing-masing diharuskan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu :
1) Penerima Hak, yaitu para penerima hak atas tanah Negara berdasarkan Surat Keputusan pemberian hak yang dikeluarkan pemerintah cq. Direktur Jenderal Agraria atau pejabat yang ditunjuk. Bagi pemohon ini diharuskan melengkapi syarat :
a. Asli Surat Keputusan Pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.
b. Tanda lunas pembayaran uang pemasukan yang besarnya telah ditentukan dalam Surat Keputusan pemberian hak atas tanah tersebut.
2) Para Ahli Waris, yaitu mereka yang menerima warisan tanah, baik tanah bekas hak milik adat ataupun hak-hak lain. Bagi pemohon ini diharuskan melengkapi syarat :
a. Surat tanda bukti hak atas tanah, yang berupa sertifikat hak tanah yang bersangkutan.
b. Bila tanah tersebut sebelumnya belum ada sertifikatnya, maka harus disertakan surat tanda bukti tanah lainnya, seperti surat pajak hasil bumi / petok D lama / perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
c. Surat Keterangan kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.
d. Surat keterangan waris dari instansi yang berwenang.
e. Surat Pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
f. Turunan surat keterangan WNI yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
g. Keterangan pelunasan pajak tanah sampai saat meninggalnya pewaris.
h. Ijin peralihan hak jika hal ini disyaratkan.
3) Para pemilik tanah, yaitu mereka yang mempunyai tanah dari jual-beli, hibah, lelang, konversi hak dan sebagainya. Bagi pemohon ini diharuskan memenuhi syarat :
a. Bila tanahnya berasal dari jual beli dan hibah :
1) Akta jual beli / hibah dari PPAT.
2) Sertifikat tanah yang bersangkutan.
3) Bila tanah tersebut sebelumnya belum ada sertifikatnya, maka harus disertakan surat tanda bukti tanah lainnya, seperti surat pajak hasil bumi / petok D lama / perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
4) Surat keterangan dari kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.
5) Surat pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
6) Turunan surat keterangan WNI yang telah disahkan oleh pejabat berwenang.
7) Ijin peralihan hak jika hal ini disyaratkan.
b. Bila tanahnya berasal dari lelang :
1) Kutipan otentik berita acara lelang dari kantor lelang.
2) Sertifikat tanah yang bersangkutan atau tanda bukti hak atas tanah lainnya yang telah kepala desa dan dikuatkan oleh camat.
3) Surat pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
4) Keterangan pelunasan / bukti lunas pajak tanah yang bersangkutan.
5) Turunan surat keterangan WNI yang telah disahkan oleh pejabat berwenang.
6) Surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) yang diminta sebelum lelang.
c. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah adat, maka syarat-syaratnya adalah :
1) Bagi daerah yang sebelum UUPA sudah dipungut pajak :
• Surat pajak hasil bumi / petok D lama, perponding Indonesia dan segel-segel lama.
• Keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
• Surat asli jual-beli, hibah, tukarmenukar, dan sebaginya.
• Surat kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan isi keterangan-keterangan tentang tanah yang bersangkutan.
• Surat pernyataan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa dn tidk dijadikan tanggungan hutang serta sejak kapan dimiliki.
2) Bagi daerah yang sebelum UUPA belum dipungut pajak :
• Keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
• Surat asli jual-beli, hibah, tukar menukar, dan sebagainya yang diketahui atau dibuat oleh kepala desa / pejabat yang setingkat.
• Surat kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan isi keterangan-keterangan tentang tanah yang bersangkutan.
• Surat pernyataan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa dan tidak dijadikan tanggungan hutang serta sejak kapan dimiliki.
d. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah hak barat, misalnya eks tanah hak eigendom, syarat-syaratnya adalah :
1) Grosse akta.
2) Surat Ukur.
3) Turunan surat keterangan WNI yang disahkan oleh pejabat berwenang.
4) Kuasa konversi, bila pengkonversian itu dikuasakan.
5) Surat pernayataan pemilik yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa, tidak dijadikan tanggungan hutang, sejak kapan dimiliki dan belum pernah dialihkan atau diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak lain.
4) Pemilik sertifikat hak tanah yang hilang atau rusak. Bagi pemohon ini diharuskan memenuhi syarat :
a. Surat keterangan kepolisian tentang hilangnya sertifikat tanah tersebut.
b. Mengumumkan tentang hilangnya sertfikat tanah terseut dalam Berita Negara atau harian setempat.
c. Bagi pemohon yang sertifikatnya rusak, diharuskan menyerahkan kembali sertifikat hak atas tanah yang telah rusak tersebut.
Pada intinya semua keterangan diatas diperlukan untuk mengklarifikasi data guna kepastian hukum atas subjek yang menjadi pemegang hak dan objek haknya. Bila keterangan-keterangan tersebut terpenuhi dan tidak ada keberatan-keberatan pihak lain, maka pengurusan sudah dapat dilanjutkan ketahap selanjutnya..
Tahap 2 : Pengukuran dan Pendaftaran hak
Setelah seluruh berkas permohonan dilengkapi dan diserahkan ke Kantor Pertanahan setempat, maka proses selanjutnya di kantor pertanahan adalah pengukuran, pemetaan dan pendaftaran haknya. Bila pengukuran, pemetaan dan pendaftaran itu untuk pertama kalinya maka ini disebut sebagai dasar permulaan (opzet), sedangkan bila kegiatan itu berupa perubahan-perubahan mengenai tanahnya karena penggabungan dan/atau pemisahan maka kegiatan itu disebut sebagai dasar pemeliharaan (bijhouding).
Untuk keperluan penyelenggaraan tata usaha pendaftaran tanah tersebut dipergunakan 4 (empat) macam daftar yaitu : daftar tanah, daftar buku tanah, daftar surat ukur dan daftar nama.
Untuk kegiatan-kegiatan pengukuran, pemetaan dan lain sebagainya itu harus diumumkan terlebih dahulu, dan kegiatan-kegiatan tersebut akan dilakukan setelah tenggang waktu pengumuman itu berakhir dan tidak ada keberatan dari pihak manapun. Untuk pemohon ahli waris dan pemilik tanah, pengumumannya diletakkan di kantor desa dan kantor kecamatan selama 2 bulan. Untuk pemohon yang sertifikatnya rusak atau hilang, pengumumannya dilakukan lewat surat kabar setempat atau Berita Negara sebanyak 2 kali pengumman dengan tenggang waktu satu bulan.
Dalam pelaksanaan pengukuran, karena hakekatnya akan ditetapkan batas-batas tanah maka selain pemilik tanah yang bermohon, perlu hadir dan menyaksikan juga adalah pemilik tanah yang berbatasan dengannya. Pengukuran tanah dilakukan oleh juru ukur dan hasilnya akan dipetakan dan dibuatkan surat ukur dan gambar situasinya.
Atas bidang-bidang tanah yang telah diukur tersebut kemudian ditetapkan subjek haknya, kemudian haknya dibukukan dalam daftar buku tanah dari desa yang bersangkutan. Daftar buku tanah terdiri atas kumpulan buku tanah yang dijilid, satu buku tanah hanya dipergunakan untuk mendaftar satu hak atas tanah. Dan tiap-tiap hak atas tanah yang sudah dibukukan tersebut diberi nomer urut menurut macam haknya.
Tahap 3 : Penerbitan sertifikat
Tahap terakhir yang dilakukan adalah membuat salinan dari buku tanah dari hak-hak atas tanah yang telah dibukukan. Salinan buku tanah itu beserta surat ukur dan gambar situasinya kemudian dijahit / dilekatkan menjadi satu dengan kertas sampul yang telah ditentukan pemerintah, dan hasil akhir itulah yang kemudian disebut dengan sertifikat yang kemudian diserahkan kepada pemohonnya. Dengan selesainya proses ini maka selesailah sertifikat bukti hak atas tanah yang kita mohonkan.
Untuk lancarnya tahap-tahap tersebut diatas, pemohon senantiasa dituntut untuk aktif dan rajin mengurus permohonannya itu. Segala kekurangan persyaratan bila mungkin ada, harus diusahakan untuk dilengkapinya sendiri. Kelincahan dalam mengurus kelengkapan dari syarat-syarat ini akan sangat berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya penerbitan sertifikat. Untuk itu perlu adanya komunikasi aktif yang dilakukan oleh pemohon kepada petugas di Badan Pertanahan untuk mengetahui progres pengurusan / penerbitan sertifikatnya.
Tulisan ini dibuat untuk dan dipublikasikan di : http://www.morowali.com/
Sertifikat hak atas tanah menjadi dambaan dari setiap pemegang hak atas tanah. Serasa masih ada yang kurang dan belum mantap bila pemilikan atau penguasaan atas tanah itu belum disertai bukti pemilikan berupa sertifikat. Hal itu memang benar dan sudah selayaknya setiap orang mengusahakan agar ia memperoleh sertifikat karena Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960 menjamin hal itu bahwa adalah hak dari setiap pemegang hak atas tanah untuk memperoleh sertifikat (UUPA Pasal 4 ayat 1).
Sertifikat memiliki banyak fungsi bagi pemiliknya. Dari sekian fungsi yang ada, dapat dikatakan bahwa fungsi utama dan terutama dari sertifikat adalah sebagai alat bukti yang kuat, demikian dinyatakan dalam pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA. Karena itu, siapapun dapat dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah bila telah jelas namanya tercantum dalam sertifikat itu. Diapun selanjutnya dapat membuktikan mengenai keadaan-keadaan dari tanahnya itu misalnya luasnya, batas-batasnya, ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang tanah dimaksud. Dan jika dikemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang hak kepemilikan / penguasaan atas tanah, maka semua keterangan yang dimuat dalam sertifikat hak atas tanah itu mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan karenanya hakim harus menerima sebagai keterangan-keterangan yang benar, sepanjang tidak ada bukti lain yang mengingkarinya atau membuktikan sebaliknya. Tetapi jika ternyata ada kesalahan didalamnya, maka diadakanlah perubahan / pembetulan seperlunya. Dalam hal ini yang berhak melakukan pembetulan bukanlah pengadilan melainkan instansi yang menerbitkannya yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan jalan pihak yang dirugikan mengajukan permohonan perubahan sertifikat dengan melampirkan surat keputusan pengadilan yang menyatakan tentang adanya kesalahan dimaksud.
Selain fungsi utama tersebut diatas, sertifikat memiliki banyak fungsi lainnya yang sifatnya subjektif tergantung daripada pemiliknya. Sebut saja, misalnya jika pemiliknya adalah pengusaha, maka sertifikat tersebut menjadi sesuatu yang sangat berarti ketika ia memerlukan sumber pembiayaan dari bank karena sertifikat dapat dijadikan sebagai jaminan untuk pemberian fasilitas pinjaman untuk menunjang usahanya. Demikian juga contoh-contoh lainnya masih banyak yang kita bisa sebutkan sebagai kegunaan dari adanya sertifikat tersebut.
Yang jelas bahwa sertifikat hak atas tanah itu akan memberikan rasa aman dan tenteram bagi pemiliknya karena segala sesuatunya mudah diketahui dan sifatnya pasti serta dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Lalu apa yang dimaksud dengan sertifikat itu sendiri ? Untuk mengetahui hal ini, dapat diketengahkan bunyi Pasal 13 ayat 3 PP No.10 tahun 1961 yang menyebutkan bahwa ”Salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut sertifikat dan diberikan kepada yang berhak”.
Dari ketentuan pasal itu kiranya jelaslah bagi kita apa yang dimaksud dengan sertifikat hak atas tanah itu, yaitu sebagai salinan daripada buku tanah dan surat ukur tanah yang diikat menjadi satu. Asli sertifikat itu sendiri adanya di kantor BPN dan kepada tiap-tiap pemegang hak hanya diberikan salinannya saja.
PROSES PENSERTIFIKATAN TANAH
Di Indonesia, dikenal ada dua cara pendaftaran tanah yakni sporadik dan sistematik. Untuk cara sistematik karena ini berkaitan langsung dengan program pemerintah terasa tidak terlalu ada kendala dilapangan. Tetapi bagi yang menempuh cara sporadik atau yang inisiatifnya berasal dari pemilik tanah dengan mengajukan permohonan, pengalaman selama ini pada umumnya serasa banyak masalah. Tidak heran jika selama ini telah terbentuk kesan bahwa untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah itu sangat sulit, memakan waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang mahal. Kesulitan itu biasanya timbul karena berbagai faktor seperti kurang lengkapnya surat-surat tanah yang dimiliki oleh pemohon, kesengajaan dari sementara oknum aparat yang memiliki mental tak terpuji dan/atau karena siklus agraria belum berjalan sebagaimana mestinya. Secara objektif harus diakui bahwa tatacara memperoleh sertifikat itu masih terlalu birokratis, berbelit-belit dan sulit dipahami oleh orang awam. Kenyataan ini sering menimbulkan rasa enggan untuk mengurus sertifikat bila tidak benar-benar mendesak dibutuhkan. Sering pula dirasakan bahwa jumlah biaya, waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk mengurus sertifikat kadangkala tidak sebanding dengan manfaat langsung dari sertifikat itu sendiri. Oleh karena itu kiranya lebih bijaksana apabila diusahakan untuk memperpendek birokrasi tersebut sehingga pelayanan perolehan sertifikat dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat, efektif dan efisien.
Tentang prosedur pengurusan dan penerbitan sertifikat sebetulnya sudah diatur dalam PP No.10 tahun 1961 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Menurut ketentuan tersebut seseorang dalam mengurus sertifikatnya harus melewati 3 (tiga) tahap, yang garis besarnya adalah sebagai berikut :
Tahap 1 : Permohonan hak.
Pemohon sertifikat hak atas tanah dibagi menjadi 4 golongan, dan masing-masing diharuskan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu :
1) Penerima Hak, yaitu para penerima hak atas tanah Negara berdasarkan Surat Keputusan pemberian hak yang dikeluarkan pemerintah cq. Direktur Jenderal Agraria atau pejabat yang ditunjuk. Bagi pemohon ini diharuskan melengkapi syarat :
a. Asli Surat Keputusan Pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.
b. Tanda lunas pembayaran uang pemasukan yang besarnya telah ditentukan dalam Surat Keputusan pemberian hak atas tanah tersebut.
2) Para Ahli Waris, yaitu mereka yang menerima warisan tanah, baik tanah bekas hak milik adat ataupun hak-hak lain. Bagi pemohon ini diharuskan melengkapi syarat :
a. Surat tanda bukti hak atas tanah, yang berupa sertifikat hak tanah yang bersangkutan.
b. Bila tanah tersebut sebelumnya belum ada sertifikatnya, maka harus disertakan surat tanda bukti tanah lainnya, seperti surat pajak hasil bumi / petok D lama / perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
c. Surat Keterangan kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.
d. Surat keterangan waris dari instansi yang berwenang.
e. Surat Pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
f. Turunan surat keterangan WNI yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
g. Keterangan pelunasan pajak tanah sampai saat meninggalnya pewaris.
h. Ijin peralihan hak jika hal ini disyaratkan.
3) Para pemilik tanah, yaitu mereka yang mempunyai tanah dari jual-beli, hibah, lelang, konversi hak dan sebagainya. Bagi pemohon ini diharuskan memenuhi syarat :
a. Bila tanahnya berasal dari jual beli dan hibah :
1) Akta jual beli / hibah dari PPAT.
2) Sertifikat tanah yang bersangkutan.
3) Bila tanah tersebut sebelumnya belum ada sertifikatnya, maka harus disertakan surat tanda bukti tanah lainnya, seperti surat pajak hasil bumi / petok D lama / perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
4) Surat keterangan dari kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.
5) Surat pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
6) Turunan surat keterangan WNI yang telah disahkan oleh pejabat berwenang.
7) Ijin peralihan hak jika hal ini disyaratkan.
b. Bila tanahnya berasal dari lelang :
1) Kutipan otentik berita acara lelang dari kantor lelang.
2) Sertifikat tanah yang bersangkutan atau tanda bukti hak atas tanah lainnya yang telah kepala desa dan dikuatkan oleh camat.
3) Surat pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
4) Keterangan pelunasan / bukti lunas pajak tanah yang bersangkutan.
5) Turunan surat keterangan WNI yang telah disahkan oleh pejabat berwenang.
6) Surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) yang diminta sebelum lelang.
c. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah adat, maka syarat-syaratnya adalah :
1) Bagi daerah yang sebelum UUPA sudah dipungut pajak :
• Surat pajak hasil bumi / petok D lama, perponding Indonesia dan segel-segel lama.
• Keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
• Surat asli jual-beli, hibah, tukarmenukar, dan sebaginya.
• Surat kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan isi keterangan-keterangan tentang tanah yang bersangkutan.
• Surat pernyataan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa dn tidk dijadikan tanggungan hutang serta sejak kapan dimiliki.
2) Bagi daerah yang sebelum UUPA belum dipungut pajak :
• Keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
• Surat asli jual-beli, hibah, tukar menukar, dan sebagainya yang diketahui atau dibuat oleh kepala desa / pejabat yang setingkat.
• Surat kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan isi keterangan-keterangan tentang tanah yang bersangkutan.
• Surat pernyataan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa dan tidak dijadikan tanggungan hutang serta sejak kapan dimiliki.
d. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah hak barat, misalnya eks tanah hak eigendom, syarat-syaratnya adalah :
1) Grosse akta.
2) Surat Ukur.
3) Turunan surat keterangan WNI yang disahkan oleh pejabat berwenang.
4) Kuasa konversi, bila pengkonversian itu dikuasakan.
5) Surat pernayataan pemilik yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa, tidak dijadikan tanggungan hutang, sejak kapan dimiliki dan belum pernah dialihkan atau diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak lain.
4) Pemilik sertifikat hak tanah yang hilang atau rusak. Bagi pemohon ini diharuskan memenuhi syarat :
a. Surat keterangan kepolisian tentang hilangnya sertifikat tanah tersebut.
b. Mengumumkan tentang hilangnya sertfikat tanah terseut dalam Berita Negara atau harian setempat.
c. Bagi pemohon yang sertifikatnya rusak, diharuskan menyerahkan kembali sertifikat hak atas tanah yang telah rusak tersebut.
Pada intinya semua keterangan diatas diperlukan untuk mengklarifikasi data guna kepastian hukum atas subjek yang menjadi pemegang hak dan objek haknya. Bila keterangan-keterangan tersebut terpenuhi dan tidak ada keberatan-keberatan pihak lain, maka pengurusan sudah dapat dilanjutkan ketahap selanjutnya..
Tahap 2 : Pengukuran dan Pendaftaran hak
Setelah seluruh berkas permohonan dilengkapi dan diserahkan ke Kantor Pertanahan setempat, maka proses selanjutnya di kantor pertanahan adalah pengukuran, pemetaan dan pendaftaran haknya. Bila pengukuran, pemetaan dan pendaftaran itu untuk pertama kalinya maka ini disebut sebagai dasar permulaan (opzet), sedangkan bila kegiatan itu berupa perubahan-perubahan mengenai tanahnya karena penggabungan dan/atau pemisahan maka kegiatan itu disebut sebagai dasar pemeliharaan (bijhouding).
Untuk keperluan penyelenggaraan tata usaha pendaftaran tanah tersebut dipergunakan 4 (empat) macam daftar yaitu : daftar tanah, daftar buku tanah, daftar surat ukur dan daftar nama.
Untuk kegiatan-kegiatan pengukuran, pemetaan dan lain sebagainya itu harus diumumkan terlebih dahulu, dan kegiatan-kegiatan tersebut akan dilakukan setelah tenggang waktu pengumuman itu berakhir dan tidak ada keberatan dari pihak manapun. Untuk pemohon ahli waris dan pemilik tanah, pengumumannya diletakkan di kantor desa dan kantor kecamatan selama 2 bulan. Untuk pemohon yang sertifikatnya rusak atau hilang, pengumumannya dilakukan lewat surat kabar setempat atau Berita Negara sebanyak 2 kali pengumman dengan tenggang waktu satu bulan.
Dalam pelaksanaan pengukuran, karena hakekatnya akan ditetapkan batas-batas tanah maka selain pemilik tanah yang bermohon, perlu hadir dan menyaksikan juga adalah pemilik tanah yang berbatasan dengannya. Pengukuran tanah dilakukan oleh juru ukur dan hasilnya akan dipetakan dan dibuatkan surat ukur dan gambar situasinya.
Atas bidang-bidang tanah yang telah diukur tersebut kemudian ditetapkan subjek haknya, kemudian haknya dibukukan dalam daftar buku tanah dari desa yang bersangkutan. Daftar buku tanah terdiri atas kumpulan buku tanah yang dijilid, satu buku tanah hanya dipergunakan untuk mendaftar satu hak atas tanah. Dan tiap-tiap hak atas tanah yang sudah dibukukan tersebut diberi nomer urut menurut macam haknya.
Tahap 3 : Penerbitan sertifikat
Tahap terakhir yang dilakukan adalah membuat salinan dari buku tanah dari hak-hak atas tanah yang telah dibukukan. Salinan buku tanah itu beserta surat ukur dan gambar situasinya kemudian dijahit / dilekatkan menjadi satu dengan kertas sampul yang telah ditentukan pemerintah, dan hasil akhir itulah yang kemudian disebut dengan sertifikat yang kemudian diserahkan kepada pemohonnya. Dengan selesainya proses ini maka selesailah sertifikat bukti hak atas tanah yang kita mohonkan.
Untuk lancarnya tahap-tahap tersebut diatas, pemohon senantiasa dituntut untuk aktif dan rajin mengurus permohonannya itu. Segala kekurangan persyaratan bila mungkin ada, harus diusahakan untuk dilengkapinya sendiri. Kelincahan dalam mengurus kelengkapan dari syarat-syarat ini akan sangat berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya penerbitan sertifikat. Untuk itu perlu adanya komunikasi aktif yang dilakukan oleh pemohon kepada petugas di Badan Pertanahan untuk mengetahui progres pengurusan / penerbitan sertifikatnya.
Tulisan ini dibuat untuk dan dipublikasikan di : http://www.morowali.com/
Label:
Artikel hukum
Ternyata Usia Tak Menghalangi Untuk Melangkah Sukses!
Tanggal 9-10 Mei 2008 yang lalu, di 6 kota diseluruh Indonesia (Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya), secara serentak diselenggarakan Ujian Kode Etik bagi para calon notaris. Saya menjadi salah satu peserta diantara 195 calon notaris yang pelaksanaannya bertempat di kota Yogyakarta. Semula saya berpikir bahwa saya menjadi salah satu yang tertua diantara para peserta tersebut. Ternyata dugaan saya keliru 100 % karena dari tampang-tampang peserta ternyata sebagian besar peserta adalah mereka yang bermutu (bermuka tua alias berumur).
Dalam percakapan dengan beberapa peserta saya mengetahui bahwa banyak diantaranya adalah PNS aktif yang sebentar lagi akan pensiun, tetapi mereka sangat antusias. Bahkan dalam forum tanya-jawab, ada seorang bapak yang memperkenalkan dirinya dengan penuh semangat 'empat-lima' sebagai pensiunan Polri.
Dalam percakapan dengan beberapa peserta saya mengetahui bahwa banyak diantaranya adalah PNS aktif yang sebentar lagi akan pensiun, tetapi mereka sangat antusias. Bahkan dalam forum tanya-jawab, ada seorang bapak yang memperkenalkan dirinya dengan penuh semangat 'empat-lima' sebagai pensiunan Polri.
Sontak, fakta ini menyadarkan saya bahwa ternyata umur tidak menjadi faktor penghalang untuk melangkah sukses. Syukurlah, momentum ini memberi hikmah bagi saya karena saya mendapat satu amunisi baru lagi untuk terus melangkah guna meraih goal yang telah ditentukan. Spirit ini menjadi 'premium' dalam perjalanan menuju sukses yang hendak dicapai. Doa saya dan keluarga yang terus setia dan mendukung usaha saya, kiranya Tuhan melapangkan jalan untuk tujuan mulia ini, amin.
Label:
Refleksi hidup
Mundur Selangkah Untuk Maju Beberapa Langkah (refleksi tema blog pribadi saya)
Hidup ini ibarat medan pertempuran. Ketika berbicara pertempuran (perang) kita akan teringat dengan "Zun Tze" seorang ahli taktik yang sangat terkenal dari China kuno. Di medan perang tidak selamanya kita maju, menyerang dan menyerang terus. Tetapi ada saatnya kita perlu mundur untuk konsolidasi sekaligus menyusun strategi baru untuk kemudian maju lagi dengan lebih dasyat.
Begitulah perjalanan hidup ini ada saatnya ketika kita sudah merasa mentok di satu lini, kita perlu mundur selangkah untuk konsolidasi serta menyusun kekuatan baru dan kemudian tampil lagi.
Begitulah perjalanan hidup ini ada saatnya ketika kita sudah merasa mentok di satu lini, kita perlu mundur selangkah untuk konsolidasi serta menyusun kekuatan baru dan kemudian tampil lagi.
Setelah berkarir selama 13 tahun di Bank Danamon, berganti-ganti jabatan telah diemban mulai dari clerk Legal Officer, sukses sebagai legal mendapatkan promosi ke bagian marketing menjadi Account Officer, menanjak lagi menjadi Senior Account Officer, Wakil Pemimpin Cabang Bidang Marketing dan Pemimpin Cabang di beberapa kantor cabang.
Datangnya krisis moneter tahun 1998 turut berdampak pada Bank Danamon yang kemudian diambil alih oleh pemerinah menjadi Bank Take Over (BTO) melalui BPPN. Untuk me-refund dana pengambil-alihan pemerintah atas Bank Danamon, maka Bank Danamon dijual, yang akhirnya dibeli oleh PTE. Temasek, Lmtd - salah satu perusahaan konglomerasi milik Singapura. Seketika, Bank Danamon "dipoles" sedemikian rupa sesuai keinginan owner baru. Maka terjadilah perubahan besar-besaran baik menyangkut Management, SDM, Operasional maupun Bisnis Bank Danamon. Perubahan besar-besaran ini berimbas kepada turn-over karyawan menjadi sangat tinggi, karena disana-sini terjadi 'bongkar-pasang' jabatan dan job-description.
Dalam era Temasek ini, saya masih mendapat kepercayaan menjadi Business Manager di beberapa kantor cabang, berpindah-pindah di wilayah Indonesia Bagian Tengah dan Timur. Tetapi kondisi turn-over karyawan yang semakin tinggi terus menjadikan bahan perenungan bagi saya : kemanakah langkah ini hendak diteruskan? Bertahankah di Bank Danamon atau resign untuk konsolidasi? Pertanyaan-pertanyaan yang menjadi pertimbangan adalah kalau bertahan kira-kira saya sampai di posisi mana? berapa lama lagi akan bertahan? sementara kalo resign, berarti set-back yang tentu membawa banyak dampak, seperti mind-set harus dirubah, pembawaan dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari, serta terutama juga terhadap ekonomi keluarga.
Disini perlu pertimbangan yang sangat-sangat matang dan bijak.
Disini perlu pertimbangan yang sangat-sangat matang dan bijak.
Dan setelah merenung dan mempertimbangkan segala sesuatunya, akhirnya pilihan kedua-lah yang terpilih, set-back : konsolidasi untuk nantinya tampil di lini yang lain. Tujuan saya sudah bulat : "Tampil Menjadi Notaris yang sukses".
Melakoni pilihan ini, perlu pengorbanan, jiwa besar, keuletan plus kesabaran yang tinggi. Dengan semangat dan tekad baru tersebut, akhirnya per Sept 2006 saya mulai kuliah di Program Magister Kenotariatan UGM. Dan agar benar-benar fokus maka per 1 Nopember 2006 saya re-sign dari Bank Danamon. Dan syukurlah per 28 Maret 2008 saya menyelesaikan study S2 Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, study ini hanya saya tempuh selama 18 bulan, suatu langkah awal yang sangat luar biasa, karena menjadi salah satu dari sebagian kecil lulusan tercepat (9 orang) Program Notariat UGM angkatan tahun 2006. Modal awal untuk tampil di lini lain kini sudah diraih, tetapi perjuangan masih panjang. Langkah berikut dan berikutnya lagi masih menunggu, tetapi akan saya raih dengan optimistik hanya dengan satu semangat : tampil menjadi seorang Notaris yang sukses.
Inilah sekelumit yang menjadi latar belakang dan refleksi dari mengapa blog pribadi saya ini dinamakan : Menjadi Notaris Yang Sukses!! Doa saya dan keluarga yang terus mendukung dan setia mendampingi langkah saya adalah semoga Tuhan selalu membukakan jalan agar cita-cita ini terwujud dengan baik, amin.
Label:
Refleksi hidup
Langganan:
Postingan (Atom)