Buat rekan-rekan yang akan mengajukan permohonan SK pengangkatan notaris (notaris baru), bersama ini saya informasikan Kabupaten/Kota yang tidak ada formasinya, sesuai dengan pengumuman dari Departemen Hukum Dan Hak Asasi Republik Indonesia, Jl. Rasuna Said - Jakarta, di lantai I, yang dirilis per tanggal 14 Januari 2009. Kabupaten/Kota tersebut adalah sbb :
A. Nangroe Aceh Darusallam :
1. Kota Banda Aceh.
2. Kota Sabang
B. Sumatera Utara :
1. Kabupaten Deli Serdang.
2. Kota Medan
3. Kota Tebingtinggi
4.
C. Sumatera Barat :
1. KotaBukit Tinggi
2. Kota Solok
3. Kota Pariaman
D. Riau :
1. Kota Batam
2. Kota Tanjung Pinang
E. Lampung :
1. Kota Bandar Lampung
F. Jawa Barat :
1. Kabupaten Bekasi
2. Kabupaten Bogor
3. Kota Bandung
4. Kota Bekasi
5. Kota Bogor
6. Kota Cirebon
7. Kota Depok
G. Banten :
1. Kabupaten Tangerang
2. Kota Cilegon
3. Kota Tangerang
H. Jawa Tengah :
1. Kabupaten Magelang
2. Kota Salatiga
3. Kota Semarang
4. Kota Surakarta
I. Daerah Istimewa Yogyakarta :
1. Kabupaten Bantul
2. Kabupaten Sleman
3. Kota Yogyakarta
J. Jawa Timur :
1. Kabupaten Sidoarjo
2. Kota Madiun
3. Kota Mojokerto
4. Kota Surabya
5. Kota Malang
K. Bali :
1. Kabupaten Badung
2. Kabupaten Gianyar
3. Kota Denpasar
4. Kabupaten Klungkung
5. Kabupaten Tabanan
L. Nusa Tenggara Barat :
1. Kota Mataram
M. Kalimantan Timur :
1. Kota Balikpapan
N. Sulawesi Selatan :
1. Kota Makassar.
Demikian moga bermanfaat. Slamat mengajukan permohonan, sukses slalu.
Selasa, 27 Januari 2009
Sabtu, 10 Januari 2009
Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Jasa Hukum (Contoh akta dibawah tangan, koleksi Raimond F. Lamandasa, SH, MKn)
Nomor : [___]
Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Jasa Hukum ini (“Perjanjian”) dibuat dan ditandatangaini pada hari ini, [___], tanggal [___] oleh dan antara:
1. [___] (untuk selanjutnya disebut”Pihak Pertama”), dan
2 . [___] (untuk selanjutnya disebut “Pihak Kedua”);
(PIHAK PERTAMA dan Pihak Kedua secara bersama-sama untuk selanjutnya disebut “Para Pihak”);
Para pihak dalam kepasitasnya masing-masing menerangkan dan menyatakan terlebih dahulu :
Bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya, PIHAK PERTAMA memerlukan penasehat/konsultasi; dan
Bahwa Penyediaan Jasa Hukum telah ditunjuk sebagai konsultasi PIHAK PERTAMA yang tugas-tugasnya ditentukan sesuai Kerangka Acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Perjanjian ini;
Maka karenanya, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Para Pihak telah saling setuju untuk membuat dan melaksanakan Perjanjian ini dengan ketentuan dan persyaratan sebagai berikut :
Pasal 1
Penunjukan
Pihak Pertama dengan ini menunjuk Pihak Kedua untuk memberikan jasa keahliannya sebagai konsultan hokum dan Pihak Kedua dengan menerima penunjukan tersebut sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam Perjanjian ini.
Pasal 2
Ruang Lingkup Pekerjaan dan Personil
(1) Pihak Pertama dengan ini menugaskan Penyediaan Jasa Hukum untuk menyediakan jasa dan/atau melaksanakan pekerjaan sebagai konsultan sesuai ruang lingkup pekerjaan sebagaimana terinci dalam Lampiran A (“Kerangka Acuan”) yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjanjian ini.
(2) Dalam hal terdapat kekurangan dan/atau kesalahan dan/atau ketidaksesuaian dalam pelaksanaan pekerjaan dengan Kerangka Acuan, maka Pihak Kedua wajib melakukan perubahan, perbaikan dan/atau penyempunaan pekerjaan sesuai dengan Kerangka Acuan.
(3) Apabila diperlukan, Penyediaan Jasa dapat diminta memberikan jasa tambahan lainnya yang merupakan kelanjutan dari hasil pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan persetujuan dan imbalan jasa yang disetujui oleh Para Pihak.
(4) Dalam pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penyediaan Jasa menempatkan personil-personilnya (“Personil”) yang akan melaksanakan tugas pekerjaannya sebagaimana dirinci dalam Lampiran B, dan pihak yang bertanggungjawab atas pekerjaan yang dilakukan oleh Personil kepada Pihak Pertama adalah Penyediaan Jasa.
(5) Setiap penempatan dan/atau penggantian Personil oleh Pihak Kedua sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) wajib memperoleh persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Pertama.
(6) Bardasarkan pertimbangan Pihak Pertama, setiap Personil yang tidak memenuhi kualifikasi atau standar profesional yang ditentukan oleh Pihak Pertama, maka Penyediaan Jasa wajib melakukan penggantian Personil sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Pihak Pertama.
(7) Dalam melaksanakan Perjanjian ini Pihak Pertama menunjukan Kepala Divisi Litigasi selaku koordinator yang mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
a. mengkoordinasikan seluruh kegiatan berdasarkan Perjanjian ini terutama melakukan pemantauan teradap pelaksanaan pekerjaan;
b. memastikan kesesuaiannya pelaksanaan pekerjaan dengan Kerangka Acuan;
c. membahas laporan yang diserahkan oleh Penyediaan Jasa;
d. menerima dan mengajukan persetujuan pembayaran atas seluruh biaya yang berkaitan dengan perjanjian ini;
e. menandatangani Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan.
Pasal 3
Jangka Waktu Perjanjian
(1)Perjanjian ini berlaku dan mengikat Para Pihak sejak tanggal ditandatangani Perjanjian ini oleh para pihak dan berakhir sampai dengan [___].
(2)Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah jangka waktu dimana Penyediaan Jasa wajib menyelesaikan pekerjaannya sesuai Kerangka Acuan yang telah ditetapkan.
Pasal 4
Imbalan Jasa dan Cara Pembayaran
(1) PIHAK PERTAMA setuju untuk memberikan imbalan jasa atas pekerjaan kepada Pihak Kedua yang jumlah dan tata cara pembayarannya sebagaimana tercantum dalam lampiran C.
(2) Selain imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dalam hal terdapat biaya operasional tidak langsung (out of pocket expenses), maka atas biaya operasional tidak langsung tersebut.
(3) Yang dimaksud dengan out of pocket expenses sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersebut di atas adalah biaya pengeluaran yang tidak termasuk dalam biaya jasa yang disyaratkan oleh Pihak Kedua dalam rangka pelaksanaan tugas untuk kepentingan Pihak Pertama, dengan ketentuan Penyediaan Jasa harus menyampaikan secara tertulis rencana anggaran biaya tersebut kepada Pihak Pertama guna medapat persetujuan dari Pihak Pertama.
(4) Pembayaran bagian imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak Pihak Pertama menerima dokumen-dkumen sebagai berikut dari Pihak Kedua, yaitu :
a. asli kuitansi/invoice;
b. faktur pajak;
c. surat setoran pajak;
d. Berita Acara Serah Terima Penyelesaian Pekerjaan sesuai kemajuan pekerjaan/termin yang disepakati yang ditandatangani oleh Para Pihak sesuai dengan format pada Lampiran D.
(5)Dalam hal Pihak Kedua belum memenuhi ketentuan sebagaimanan dimaksud dalam ayat (4) dari Pasal ini maka Pihak Pertama tidak wajib melakukan pembayaran.
(6)Imbalan jasa yang dimaksud dalam Pasal ini sudah termasuk biaya untuk jasa yang mungkin timbul setelah penyelesaian pekerjaan, tidak terbatas pada memberikan penjelasan atas hasil pekerjaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan selain Pihak Pertama.
Pasal 5
Standar Kinerja
(1)Dalam melaksanakan Perjanjian ini, Pihak Kedua bersedia dan/atau setuju dan menjamin akan melaksanakan pekerjaan dengan standar kinerja tertinggi, intergritas profesional, Independen, tidak melanggar norma-norma dan/atau etika/moral yang berlaku dalam masyarakat serta dapat dipertanggungjawabkan.
(2)Seluruh Personil yang ditugaskan/ditempatkan oleh Pihak Kedua harus memenuhi syarat dan kualifikasi sebagaimana ditetapkan oleh Pihak Pertama, yaitu antara lain, memiliki keahlian dalam melakukan pekerjaan serta keampuan dan pengalaman yang memadai sesuai dengan profesinya, integritas profesional dan independen.
(3)Dalam melaksanakan pekerjaan, Pihak Kedua wajib menggunakan metode penilaian tertentu yang disetujui oleh Pihak Pertama dan/atau lazim dipergunakan dan dapat dipertanggungjawabkan serta tidak bertentangan dengan peraturan dan/atau perundang-undangan yang berlaku.
(4)Dalam melaksanakan pekerjaan berdasarkan Perjanjian ini, Pihak Kedua menjamin bahwa Pihak Kedua telah memperoleh segala perizinan dari instansi yang berwenang sebagaimana disyaratkan oleh peraturan dan/atau perundang-ndangan yang berlaku di Indonesia dan karenanya Pihak Pertama dibebaskan dari segala tangging jawab atas pelanggaran peraturan dan/atau perundang-undangan yang berlaku tentang perizinan yang dilakukan oleh Pihak Kedua.
Pasal 6
Laporan Pekerjaan
(1)Pihak Kedua wajib menyampaikan laporan pekerjaan yang dibuat dalam bahasa Indonesia dengan syarat-syarat dan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Kerangka Acuan.
(2)Pihak Kedua wajib menyampaikan laporan akhir hasil pelaksanaan pekerjaan tersebut pada akhir jangka waktu sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 3 Perjanjian ini dan harus mendapat persetujuan secara tertulis dari Pihak Pertama yang dibuktikan dengan penandatanganan Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan oleh Para Pihak.
Pasal 7
Benturan Kepentingan
(1)Pihak Kedua menjamin tidak pernah dan/atau tidak sedang melakukan pekerjaan dan/atau tidak akan menerima pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Perjanjian ini dari pihak manapun baik secara langsung maupun tidak langsung yang mempunyai atau mengakibatkan timbulnya benturan kepentingan dengan kepentingan Pihak Kedua dan/atau Personil dan/atau kepentingan Pihak Pertama (“Benturan Kepentingan”).
(2)Pihak Kedua dengan ini menjamin dan menegaskan bahwa :
a. Pihak Kedua telah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan menegaskan bahwa menurut pendapatnya tidak terdapat Benturan Kepentingan sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan berdasarkan Perjanjian ini;
b. Pihak Kedua menegaskan bahwa, tidak akan melakukan tindakan baik secara disengaja maupun yang akan menimbulkan Benturan Kepentingan selama dan/atau dalam jangka waktu 2 (dua) tahun setelah selesainya Perjajian ini dan karenanya Pihak Kedua wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pihak Pertama bilamana terjadi Benturan Kepentingan antara pelaksanaan tugas-tugas Pihak Kedua dengan kepentingan Pihak Pertama dengan tujuan agar Benturan Kepentingan dapat dihindari.
(3)Dalam hal terdapat dan/atau ditemui adanya Benturan Kepentingan baik pada Pihak Kedua dan /atau Personil selama berlangsungnya Perjanjian ini, Pihak Kedua wajib memenuhi permintaan Pihak Pertama untuk menyelesaikan Benturan Kepentingan tersebut.
(4)Dalam Benturan Kepentingan tersebut diduga akan sangat mempengaruhi pekerjaan dan/atau Pihak Kedua tidak dapat menyelesaikan Benturan Kepentingan tersebut, Pihak Pertama berhak menunda segala pembayaran serta mengakhiri Perjanjian jika dipandang perlu.
Pasal 8
Kerahasiaan
(1)Pihak Kedua dengan ini menjamin dan menyatakan bahwa selama berlangsung dan/atau setelah berakhirnya Perjanjian ini, Pihak Kedua dan/atau Personil dan/atau karyawannya tidak akan melakukan penggandaan, membuka, mengungkapkan, menyiarkan dan/atau menyebarluaskan informasi dan/atau dokumen apapun yang diperoleh dari Pihak Pertama termasuk laporan yang dibuat oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama.
(2)Dalam hal Pihak Kedua dan/atau Personil melakukan penggandaan dan/atau penyebarluasan informasi data dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Pertama, Pihak Pertama berhak untuk meninjau kembali Perjanjian ini dan berhak melakukan tindakan hukum yang dipandang perlu sehubungan dengan hal tersebut.
(3)Dalam hal Pihak Kedua menunjuk pihak lain guna membatu pelaksanaan pekerjaan, maka penunjukan pihak lain tersebut harus mendapat persetujuan tertulis dari Pihak Pertama dan pihak yang ditunjuk tersebut diwajibkan menandatangani pernyataan kerahasiaan yang akan dibuat secara terpisah dengan tidak mengurangi tanggung jawab Pihak Kedua kepada Pihak Pertama berdasarkan Perjanjian ini.
(4)Dalam hal Pihak Kedua melanggar dan/atau tidak meenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),(2) dan ayat (3), maka Pihak Kedua bertanggung jawab atas segala akibat dan kerugian yang mungkin timbul, dan Pihak Pertama berhak untuk meninjau kembali Perjanjian ini.
Pasal 9
Kepemilikan Data dan Dokumen
(1)Semua bentuk dokumen, laporan pemeriksa dan/atau data penelitian dalam bentuk cetakan (hardcopy) ataupun data yang disimpan dalam bentuk disket (softcopy) dan/atau bentuk lain yang disiapkan oleh Pihak Kedua dan/atau personil kepada Pihak Pertama adalah hak milik Pihak Pertama dan wajib diserakan oleh Pihak Kedua dalam bentuk dan waktu yang ditetapkan oleh Pihak Pertama atau pada saat perjajian berakhir dan/atau diakhiri.
(2)Pihak Kedua tetap mempunyai hak kepemilikan atas kerangka kerja, contoh-contoh, metodologi pendekatan dan peyelesaian masalah, sistematika dan model yang tertuang dalam laporan-laporan, laporan perkembangan kerja atau bahan-bahan maupun laporan lainnya yang diserahkan kepada Pihak Pertama atau dipergunakan oleh Pihak Kedua sehubungan dengan pekeraan ini.
(3)Penyediaan Jasa diizinkan untuk menyimpan salinan atau fotokopi setiap presentasi, laporan perkembangan kerja, atau dokumen lainya yang disediakan untuk Pihak Pertama berikut seluruh kertas-kertas kerja yang diperlukan oleh Pihak Kedua untuk mendukung dalam menyusun rekomendasi-rekomendasi atau kesimpulan oleh Pihak Kedua.
Pasal 10
Pajak dan Bea Materai
(1)Pihak Pertama akan memungut Pajak Pertambahan Nilai (Ppn) dan memotong Pajak Penghasilan (Pph) dari Pihak Kedua atas imbalan jasa sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dan menyetorkanya ke kas Negara.
(2)Pihak Kedua wajib membayar segala bea materai sehubungan dengan penandatanganan dan pelaksanaan perjanjian ini.
Pasal 11
Keadaan Memaksa ( Force Majeure)
(1)Apabila teradi keadaan memaksa yaitu keadaan atau peristiwa yang secara langsung mempengaruhi pelaksanaan perjanjian ini oleh Pihak Kedua untuk mengatasinya sebagai akibat dari adanya kebakaran, kerusuhan, peperangan dan bencana alam, maka Pihak Kedua wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Pihak Pertama mengenai keadaan memaksa tersebut dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal terjadinya keadaan memaksa tersebut.
(2)Apabila tidak ada pemberitahuan tertulis apa pun dari Pihak Kedua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas, Para Pihak sepakat bahwa keadaan memaksa tersebut dianggap tidak pernah ada sehingga dengan demikian kewajiban-kewajiban Pihak Kedua berdasarkan Perjajian ini tetap berlaku, tidak dikesampingkan dan tidak gugur atau batal meskipun pada kenyataanya terjadi keadaan memaksa.
(3)Dalam hal terjadi keadaan memaksa sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) di atas yang mengakibatkan tidak dapat diselesaikanya kewajiban dari Pihak Kedua berdasarkan Perjanjian ini dengan sebagaimana mestinya, maka Pihak Pertama dapat memperpanjang waktu perjanjian ini, dengan ketetuan perpanjangan ini tidak menyebabkan terjadinya perubahan nilai imbalan jasa yang harus dibayar oleh Pihak Pertama kepada Peyedia Jasa.
Pasal 12
Berakhirnya Perjanjian
(1)Dengan tidak mengesampingkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Perjanjian ini berakhir dengan sendirinya apabila pekerjan yang dilakukan oleh Pihak Kedua telah dinyatakan selesai secara tegas oleh Para Pihak sebelum jangka waktu berakhirnya Perjanjian ini.
(2)Pihak Pertama dapat mengakhiri Perjanjian ini secara sepihak dengan memberitahukan secara tertulis kepada Pihak Kedua dalam hal kinerja Pihak Kedua tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Pihak Pertama berdasarkan Kerangka Acuan yang disepakati Para Pihak dan/atau Pihak Kedua tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam perjanjian ini.
(3)Pihak Pertama dapat mengakhiri Perjanjian ini secara sepihak dalam hal Pihak Pertama tidak dapat memenuhi data dan/atau dokumen sehingga Pihak Kedua yang disebabkan ketiadaan data dan/atau dokumen sehingga Pihak Kedua tidak dapat meyelesaikan pekerjaannya berdasarkan Perjanjian ini.
Pasal 13
Akibat Pengakhiran Perjanjian
(1)Dalam hal terjadi pengakhiran Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (2) Perjanjian ini, maka Pihak Kedua berkewajiban untuk mengembalikan semua biaya dan nilai imbalan jasa yang telah diterima Pihak Kedua berdasarkan Perjanjian ini.
(2)Dalam hal terjadi pengakhiran Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) Perjanjian ini, Para Pihak setuju untuk melakukan perhitungan secara berdasarkan tingkat kemajuan pekerjaan serta waktu yang telah diberikan.
(3)Dengan berakhirnya ini, Pihak Kedua wajib mengembalikan setiap dan seluruh dokumen (baik asli, salinan atau fotokopi) yang diterima oleh Pihak Kedua dalam bentuk nyata atau kongkrit, dan Pihak Kedua wajib mengirimkannya kembali kepada Pihak Pertama semua dokumen tersebut dan seluruh hasil pekerjaan yang disiapkan oleh Pihak Kedua sehubungan dengan Perjanjian ini.
Pasal 14
Perubahan Perjanjian
Segala perubahan dan atau pengurangan dan/atau penambahan terhadap syarat dan ketentuan dalam perjanjian ini, termasuk perbahan dan/atau pengurangan dan/atau penambahan terhadap ruang lingkup pekerjaan hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan tertulis Para Pihak.
Pasal 15
Pengalihan
Hak dan kewajiban yang timbul berdasarkan perjanjian ini tidak dapat dialihkan oleh Pihak Kedua kepada siapapun.
Pasal 16
Hukum yang Berlaku
Perjanjian ini beserta lampirannya merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan, tunduk pada dan karenanya wajib ditafsirkan menurut ketentuan dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.
Pasal 17
Penyelesaian Perselisihan
(1)Para pihak sepakat untuk menyelesaikan segala perselisihan yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2)Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat, maka Para Pihak setuju untuk menyelesaikan perselisihan melalui Badan Arbitrase Nasional (BANI), tanpa mengurangi hak Pihak Pertama untuk melakukan gugatan/tuntutan terhadap Pihak Kedua ke badan peradilan manapun.
Pasal 18
Lain-lain
(1)Hal-hal ini yang belum diatur dalam perjanjian ini akan diatur kemudian oleh para pihak berdasarkan persetujuan tertulis oleh Para Pihak dan merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini.
(2)Semua lampiran yang disebutkan dalam perjanjian ini berikut segala perubahan atau penambahannya merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian.
(3)Setiap komunikasi diantara Para Pihak yang berkaitan dengan Perjanjian ini dilakukan dengan tertulis melalui fasimili atau melalui jasa kurir atau jasa kantor pos dengan alamat sebagai berikut:
Pihak Pertama
Nama : [___]
Alamat : [___]
Telp : [___]
Facs : [___]
U.p. : [___]
Pihak Kedua
Nama : [___]
Alamat : [___]
Telp : [___]
Facs : [___]
U.p. : [___]
Perjanjian ini mengesampingkan seluruh negosiasi, kesepakatan yang dibuat baik secara tertulis maupun lisan yang pernah dibuat sebelumnya. Tidak ada pengertian-pengertian, kesepakatan-kesepakatan dan perjanjian-perjanjian lain dalam bentuk apapun kecuali yang di atur secara jelas dalam perjanjian ini.
(4)Perjanjian ini ditandatangani dalam bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa yang mengikat bagi Para Pihak.
Pihak Pertama, Pihak Kedua,
[___] [___]
Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Jasa Hukum ini (“Perjanjian”) dibuat dan ditandatangaini pada hari ini, [___], tanggal [___] oleh dan antara:
1. [___] (untuk selanjutnya disebut”Pihak Pertama”), dan
2 . [___] (untuk selanjutnya disebut “Pihak Kedua”);
(PIHAK PERTAMA dan Pihak Kedua secara bersama-sama untuk selanjutnya disebut “Para Pihak”);
Para pihak dalam kepasitasnya masing-masing menerangkan dan menyatakan terlebih dahulu :
Bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya, PIHAK PERTAMA memerlukan penasehat/konsultasi; dan
Bahwa Penyediaan Jasa Hukum telah ditunjuk sebagai konsultasi PIHAK PERTAMA yang tugas-tugasnya ditentukan sesuai Kerangka Acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Perjanjian ini;
Maka karenanya, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Para Pihak telah saling setuju untuk membuat dan melaksanakan Perjanjian ini dengan ketentuan dan persyaratan sebagai berikut :
Pasal 1
Penunjukan
Pihak Pertama dengan ini menunjuk Pihak Kedua untuk memberikan jasa keahliannya sebagai konsultan hokum dan Pihak Kedua dengan menerima penunjukan tersebut sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam Perjanjian ini.
Pasal 2
Ruang Lingkup Pekerjaan dan Personil
(1) Pihak Pertama dengan ini menugaskan Penyediaan Jasa Hukum untuk menyediakan jasa dan/atau melaksanakan pekerjaan sebagai konsultan sesuai ruang lingkup pekerjaan sebagaimana terinci dalam Lampiran A (“Kerangka Acuan”) yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjanjian ini.
(2) Dalam hal terdapat kekurangan dan/atau kesalahan dan/atau ketidaksesuaian dalam pelaksanaan pekerjaan dengan Kerangka Acuan, maka Pihak Kedua wajib melakukan perubahan, perbaikan dan/atau penyempunaan pekerjaan sesuai dengan Kerangka Acuan.
(3) Apabila diperlukan, Penyediaan Jasa dapat diminta memberikan jasa tambahan lainnya yang merupakan kelanjutan dari hasil pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan persetujuan dan imbalan jasa yang disetujui oleh Para Pihak.
(4) Dalam pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penyediaan Jasa menempatkan personil-personilnya (“Personil”) yang akan melaksanakan tugas pekerjaannya sebagaimana dirinci dalam Lampiran B, dan pihak yang bertanggungjawab atas pekerjaan yang dilakukan oleh Personil kepada Pihak Pertama adalah Penyediaan Jasa.
(5) Setiap penempatan dan/atau penggantian Personil oleh Pihak Kedua sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) wajib memperoleh persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Pertama.
(6) Bardasarkan pertimbangan Pihak Pertama, setiap Personil yang tidak memenuhi kualifikasi atau standar profesional yang ditentukan oleh Pihak Pertama, maka Penyediaan Jasa wajib melakukan penggantian Personil sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Pihak Pertama.
(7) Dalam melaksanakan Perjanjian ini Pihak Pertama menunjukan Kepala Divisi Litigasi selaku koordinator yang mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
a. mengkoordinasikan seluruh kegiatan berdasarkan Perjanjian ini terutama melakukan pemantauan teradap pelaksanaan pekerjaan;
b. memastikan kesesuaiannya pelaksanaan pekerjaan dengan Kerangka Acuan;
c. membahas laporan yang diserahkan oleh Penyediaan Jasa;
d. menerima dan mengajukan persetujuan pembayaran atas seluruh biaya yang berkaitan dengan perjanjian ini;
e. menandatangani Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan.
Pasal 3
Jangka Waktu Perjanjian
(1)Perjanjian ini berlaku dan mengikat Para Pihak sejak tanggal ditandatangani Perjanjian ini oleh para pihak dan berakhir sampai dengan [___].
(2)Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah jangka waktu dimana Penyediaan Jasa wajib menyelesaikan pekerjaannya sesuai Kerangka Acuan yang telah ditetapkan.
Pasal 4
Imbalan Jasa dan Cara Pembayaran
(1) PIHAK PERTAMA setuju untuk memberikan imbalan jasa atas pekerjaan kepada Pihak Kedua yang jumlah dan tata cara pembayarannya sebagaimana tercantum dalam lampiran C.
(2) Selain imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dalam hal terdapat biaya operasional tidak langsung (out of pocket expenses), maka atas biaya operasional tidak langsung tersebut.
(3) Yang dimaksud dengan out of pocket expenses sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersebut di atas adalah biaya pengeluaran yang tidak termasuk dalam biaya jasa yang disyaratkan oleh Pihak Kedua dalam rangka pelaksanaan tugas untuk kepentingan Pihak Pertama, dengan ketentuan Penyediaan Jasa harus menyampaikan secara tertulis rencana anggaran biaya tersebut kepada Pihak Pertama guna medapat persetujuan dari Pihak Pertama.
(4) Pembayaran bagian imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak Pihak Pertama menerima dokumen-dkumen sebagai berikut dari Pihak Kedua, yaitu :
a. asli kuitansi/invoice;
b. faktur pajak;
c. surat setoran pajak;
d. Berita Acara Serah Terima Penyelesaian Pekerjaan sesuai kemajuan pekerjaan/termin yang disepakati yang ditandatangani oleh Para Pihak sesuai dengan format pada Lampiran D.
(5)Dalam hal Pihak Kedua belum memenuhi ketentuan sebagaimanan dimaksud dalam ayat (4) dari Pasal ini maka Pihak Pertama tidak wajib melakukan pembayaran.
(6)Imbalan jasa yang dimaksud dalam Pasal ini sudah termasuk biaya untuk jasa yang mungkin timbul setelah penyelesaian pekerjaan, tidak terbatas pada memberikan penjelasan atas hasil pekerjaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan selain Pihak Pertama.
Pasal 5
Standar Kinerja
(1)Dalam melaksanakan Perjanjian ini, Pihak Kedua bersedia dan/atau setuju dan menjamin akan melaksanakan pekerjaan dengan standar kinerja tertinggi, intergritas profesional, Independen, tidak melanggar norma-norma dan/atau etika/moral yang berlaku dalam masyarakat serta dapat dipertanggungjawabkan.
(2)Seluruh Personil yang ditugaskan/ditempatkan oleh Pihak Kedua harus memenuhi syarat dan kualifikasi sebagaimana ditetapkan oleh Pihak Pertama, yaitu antara lain, memiliki keahlian dalam melakukan pekerjaan serta keampuan dan pengalaman yang memadai sesuai dengan profesinya, integritas profesional dan independen.
(3)Dalam melaksanakan pekerjaan, Pihak Kedua wajib menggunakan metode penilaian tertentu yang disetujui oleh Pihak Pertama dan/atau lazim dipergunakan dan dapat dipertanggungjawabkan serta tidak bertentangan dengan peraturan dan/atau perundang-undangan yang berlaku.
(4)Dalam melaksanakan pekerjaan berdasarkan Perjanjian ini, Pihak Kedua menjamin bahwa Pihak Kedua telah memperoleh segala perizinan dari instansi yang berwenang sebagaimana disyaratkan oleh peraturan dan/atau perundang-ndangan yang berlaku di Indonesia dan karenanya Pihak Pertama dibebaskan dari segala tangging jawab atas pelanggaran peraturan dan/atau perundang-undangan yang berlaku tentang perizinan yang dilakukan oleh Pihak Kedua.
Pasal 6
Laporan Pekerjaan
(1)Pihak Kedua wajib menyampaikan laporan pekerjaan yang dibuat dalam bahasa Indonesia dengan syarat-syarat dan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Kerangka Acuan.
(2)Pihak Kedua wajib menyampaikan laporan akhir hasil pelaksanaan pekerjaan tersebut pada akhir jangka waktu sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 3 Perjanjian ini dan harus mendapat persetujuan secara tertulis dari Pihak Pertama yang dibuktikan dengan penandatanganan Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan oleh Para Pihak.
Pasal 7
Benturan Kepentingan
(1)Pihak Kedua menjamin tidak pernah dan/atau tidak sedang melakukan pekerjaan dan/atau tidak akan menerima pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Perjanjian ini dari pihak manapun baik secara langsung maupun tidak langsung yang mempunyai atau mengakibatkan timbulnya benturan kepentingan dengan kepentingan Pihak Kedua dan/atau Personil dan/atau kepentingan Pihak Pertama (“Benturan Kepentingan”).
(2)Pihak Kedua dengan ini menjamin dan menegaskan bahwa :
a. Pihak Kedua telah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan menegaskan bahwa menurut pendapatnya tidak terdapat Benturan Kepentingan sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan berdasarkan Perjanjian ini;
b. Pihak Kedua menegaskan bahwa, tidak akan melakukan tindakan baik secara disengaja maupun yang akan menimbulkan Benturan Kepentingan selama dan/atau dalam jangka waktu 2 (dua) tahun setelah selesainya Perjajian ini dan karenanya Pihak Kedua wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pihak Pertama bilamana terjadi Benturan Kepentingan antara pelaksanaan tugas-tugas Pihak Kedua dengan kepentingan Pihak Pertama dengan tujuan agar Benturan Kepentingan dapat dihindari.
(3)Dalam hal terdapat dan/atau ditemui adanya Benturan Kepentingan baik pada Pihak Kedua dan /atau Personil selama berlangsungnya Perjanjian ini, Pihak Kedua wajib memenuhi permintaan Pihak Pertama untuk menyelesaikan Benturan Kepentingan tersebut.
(4)Dalam Benturan Kepentingan tersebut diduga akan sangat mempengaruhi pekerjaan dan/atau Pihak Kedua tidak dapat menyelesaikan Benturan Kepentingan tersebut, Pihak Pertama berhak menunda segala pembayaran serta mengakhiri Perjanjian jika dipandang perlu.
Pasal 8
Kerahasiaan
(1)Pihak Kedua dengan ini menjamin dan menyatakan bahwa selama berlangsung dan/atau setelah berakhirnya Perjanjian ini, Pihak Kedua dan/atau Personil dan/atau karyawannya tidak akan melakukan penggandaan, membuka, mengungkapkan, menyiarkan dan/atau menyebarluaskan informasi dan/atau dokumen apapun yang diperoleh dari Pihak Pertama termasuk laporan yang dibuat oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama.
(2)Dalam hal Pihak Kedua dan/atau Personil melakukan penggandaan dan/atau penyebarluasan informasi data dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Pertama, Pihak Pertama berhak untuk meninjau kembali Perjanjian ini dan berhak melakukan tindakan hukum yang dipandang perlu sehubungan dengan hal tersebut.
(3)Dalam hal Pihak Kedua menunjuk pihak lain guna membatu pelaksanaan pekerjaan, maka penunjukan pihak lain tersebut harus mendapat persetujuan tertulis dari Pihak Pertama dan pihak yang ditunjuk tersebut diwajibkan menandatangani pernyataan kerahasiaan yang akan dibuat secara terpisah dengan tidak mengurangi tanggung jawab Pihak Kedua kepada Pihak Pertama berdasarkan Perjanjian ini.
(4)Dalam hal Pihak Kedua melanggar dan/atau tidak meenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),(2) dan ayat (3), maka Pihak Kedua bertanggung jawab atas segala akibat dan kerugian yang mungkin timbul, dan Pihak Pertama berhak untuk meninjau kembali Perjanjian ini.
Pasal 9
Kepemilikan Data dan Dokumen
(1)Semua bentuk dokumen, laporan pemeriksa dan/atau data penelitian dalam bentuk cetakan (hardcopy) ataupun data yang disimpan dalam bentuk disket (softcopy) dan/atau bentuk lain yang disiapkan oleh Pihak Kedua dan/atau personil kepada Pihak Pertama adalah hak milik Pihak Pertama dan wajib diserakan oleh Pihak Kedua dalam bentuk dan waktu yang ditetapkan oleh Pihak Pertama atau pada saat perjajian berakhir dan/atau diakhiri.
(2)Pihak Kedua tetap mempunyai hak kepemilikan atas kerangka kerja, contoh-contoh, metodologi pendekatan dan peyelesaian masalah, sistematika dan model yang tertuang dalam laporan-laporan, laporan perkembangan kerja atau bahan-bahan maupun laporan lainnya yang diserahkan kepada Pihak Pertama atau dipergunakan oleh Pihak Kedua sehubungan dengan pekeraan ini.
(3)Penyediaan Jasa diizinkan untuk menyimpan salinan atau fotokopi setiap presentasi, laporan perkembangan kerja, atau dokumen lainya yang disediakan untuk Pihak Pertama berikut seluruh kertas-kertas kerja yang diperlukan oleh Pihak Kedua untuk mendukung dalam menyusun rekomendasi-rekomendasi atau kesimpulan oleh Pihak Kedua.
Pasal 10
Pajak dan Bea Materai
(1)Pihak Pertama akan memungut Pajak Pertambahan Nilai (Ppn) dan memotong Pajak Penghasilan (Pph) dari Pihak Kedua atas imbalan jasa sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dan menyetorkanya ke kas Negara.
(2)Pihak Kedua wajib membayar segala bea materai sehubungan dengan penandatanganan dan pelaksanaan perjanjian ini.
Pasal 11
Keadaan Memaksa ( Force Majeure)
(1)Apabila teradi keadaan memaksa yaitu keadaan atau peristiwa yang secara langsung mempengaruhi pelaksanaan perjanjian ini oleh Pihak Kedua untuk mengatasinya sebagai akibat dari adanya kebakaran, kerusuhan, peperangan dan bencana alam, maka Pihak Kedua wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Pihak Pertama mengenai keadaan memaksa tersebut dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal terjadinya keadaan memaksa tersebut.
(2)Apabila tidak ada pemberitahuan tertulis apa pun dari Pihak Kedua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas, Para Pihak sepakat bahwa keadaan memaksa tersebut dianggap tidak pernah ada sehingga dengan demikian kewajiban-kewajiban Pihak Kedua berdasarkan Perjajian ini tetap berlaku, tidak dikesampingkan dan tidak gugur atau batal meskipun pada kenyataanya terjadi keadaan memaksa.
(3)Dalam hal terjadi keadaan memaksa sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) di atas yang mengakibatkan tidak dapat diselesaikanya kewajiban dari Pihak Kedua berdasarkan Perjanjian ini dengan sebagaimana mestinya, maka Pihak Pertama dapat memperpanjang waktu perjanjian ini, dengan ketetuan perpanjangan ini tidak menyebabkan terjadinya perubahan nilai imbalan jasa yang harus dibayar oleh Pihak Pertama kepada Peyedia Jasa.
Pasal 12
Berakhirnya Perjanjian
(1)Dengan tidak mengesampingkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Perjanjian ini berakhir dengan sendirinya apabila pekerjan yang dilakukan oleh Pihak Kedua telah dinyatakan selesai secara tegas oleh Para Pihak sebelum jangka waktu berakhirnya Perjanjian ini.
(2)Pihak Pertama dapat mengakhiri Perjanjian ini secara sepihak dengan memberitahukan secara tertulis kepada Pihak Kedua dalam hal kinerja Pihak Kedua tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Pihak Pertama berdasarkan Kerangka Acuan yang disepakati Para Pihak dan/atau Pihak Kedua tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam perjanjian ini.
(3)Pihak Pertama dapat mengakhiri Perjanjian ini secara sepihak dalam hal Pihak Pertama tidak dapat memenuhi data dan/atau dokumen sehingga Pihak Kedua yang disebabkan ketiadaan data dan/atau dokumen sehingga Pihak Kedua tidak dapat meyelesaikan pekerjaannya berdasarkan Perjanjian ini.
Pasal 13
Akibat Pengakhiran Perjanjian
(1)Dalam hal terjadi pengakhiran Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (2) Perjanjian ini, maka Pihak Kedua berkewajiban untuk mengembalikan semua biaya dan nilai imbalan jasa yang telah diterima Pihak Kedua berdasarkan Perjanjian ini.
(2)Dalam hal terjadi pengakhiran Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) Perjanjian ini, Para Pihak setuju untuk melakukan perhitungan secara berdasarkan tingkat kemajuan pekerjaan serta waktu yang telah diberikan.
(3)Dengan berakhirnya ini, Pihak Kedua wajib mengembalikan setiap dan seluruh dokumen (baik asli, salinan atau fotokopi) yang diterima oleh Pihak Kedua dalam bentuk nyata atau kongkrit, dan Pihak Kedua wajib mengirimkannya kembali kepada Pihak Pertama semua dokumen tersebut dan seluruh hasil pekerjaan yang disiapkan oleh Pihak Kedua sehubungan dengan Perjanjian ini.
Pasal 14
Perubahan Perjanjian
Segala perubahan dan atau pengurangan dan/atau penambahan terhadap syarat dan ketentuan dalam perjanjian ini, termasuk perbahan dan/atau pengurangan dan/atau penambahan terhadap ruang lingkup pekerjaan hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan tertulis Para Pihak.
Pasal 15
Pengalihan
Hak dan kewajiban yang timbul berdasarkan perjanjian ini tidak dapat dialihkan oleh Pihak Kedua kepada siapapun.
Pasal 16
Hukum yang Berlaku
Perjanjian ini beserta lampirannya merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan, tunduk pada dan karenanya wajib ditafsirkan menurut ketentuan dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.
Pasal 17
Penyelesaian Perselisihan
(1)Para pihak sepakat untuk menyelesaikan segala perselisihan yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2)Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat, maka Para Pihak setuju untuk menyelesaikan perselisihan melalui Badan Arbitrase Nasional (BANI), tanpa mengurangi hak Pihak Pertama untuk melakukan gugatan/tuntutan terhadap Pihak Kedua ke badan peradilan manapun.
Pasal 18
Lain-lain
(1)Hal-hal ini yang belum diatur dalam perjanjian ini akan diatur kemudian oleh para pihak berdasarkan persetujuan tertulis oleh Para Pihak dan merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini.
(2)Semua lampiran yang disebutkan dalam perjanjian ini berikut segala perubahan atau penambahannya merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian.
(3)Setiap komunikasi diantara Para Pihak yang berkaitan dengan Perjanjian ini dilakukan dengan tertulis melalui fasimili atau melalui jasa kurir atau jasa kantor pos dengan alamat sebagai berikut:
Pihak Pertama
Nama : [___]
Alamat : [___]
Telp : [___]
Facs : [___]
U.p. : [___]
Pihak Kedua
Nama : [___]
Alamat : [___]
Telp : [___]
Facs : [___]
U.p. : [___]
Perjanjian ini mengesampingkan seluruh negosiasi, kesepakatan yang dibuat baik secara tertulis maupun lisan yang pernah dibuat sebelumnya. Tidak ada pengertian-pengertian, kesepakatan-kesepakatan dan perjanjian-perjanjian lain dalam bentuk apapun kecuali yang di atur secara jelas dalam perjanjian ini.
(4)Perjanjian ini ditandatangani dalam bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa yang mengikat bagi Para Pihak.
Pihak Pertama, Pihak Kedua,
[___] [___]
Label:
akta dibawahtangan
Rabu, 07 Januari 2009
Wanprestasi oleh Raimond F. Lamandasa, SH, MKn
Secara sederhana, wanprestasi atau ingkar janji atau cidera janji dirumuskan selain sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut yang diperjanjikan, juga menunjuk kepada ketiadaan pelaksanaan prestasi oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Ketiadaan prestasi ini bisa terwujud dalam beberapa bentuk, seperti berikut :
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
b. Terlambat dalam memenuhi prestasi;
c. Berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya.
Dari bentuk-bentuk wanprestasi tersebut kadang-kadang menimbulkan keraguan pada waktu mana debitur tidak memenuhi prestasi, apakah termasuk tidak memenuhi prestasi sama sekali atau terlambat dalam memenuhi prestasi. Apakah debitur sudah tidak mampu memenuhi prestasinya maka hal ini termasuk pada yang pertama, tetapi apabila debitur masih mampu memenuhi prestasi, ia dianggap sebagai terlambat dalam memenuhi prestasi. Bentuk ketiga adalah jika debitur memenuhi prestasinya tetapi tidak sebagaimana mestinya atau keliru dalam memenuhi prestasinya, apabila prestasinya masih dapat diharapkan untuk diperbaiki maka ia dianggap terlambat tetapi jika tidak dapat diperbaiki lagi maka ia sudah dianggap sama sekali tidak memenuhi prestasi.
Pertanyaan yang sering kali timbul dalam praktek adalah sejak kapan debitur dianggap telah melakukan wanprestasi? Ini penting dipersoalkan karena wanprestasi mempunyai akibat hukum yang penting bagi debitur.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur itu wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perjanjian itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak.
Dalam hal tenggang waktu yang tidak ditentukan maka diperlukan suatu tindakan hukum dari bank berupa teguran atau somasi kepada debitur. Somasi ini dimaksudkan untuk teguran bahwa debitur telah lalai memenuhi prestasi dan karenanya ia diingatkan agar dalam tenggang waktu tertentu (disebutkan dalam somasi), debitur harus segera melaksanakan prestasinya. Ketidak taatan debitur dalam memenuhi prestasinya sesuai tanggal yang ditentukan dalam somasi, maka dalam hal ini debitur telah dinyatakan wanprestasi (Muhammad, 1992 : 22). Sebaliknya jika dalam perjanjian ditentukan dengan jelas tenggang waktu pemenuhan prestasi, maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata, debitur dianggap telah wanprestasi dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Praktek baik perbankan yang patut diapresiasi pada saat ini adalah walaupun umumnya masalah wanprestasi telah diatur tenggang waktunya dalam perjanjian kredit, tetapi bank tetap membuat somasi kepada debitur untuk menegaskan bahwa debitur telah benar-benar wanprestasi. Hal baik ini dilaksanakan untuk member penegasan yang setegas-tegasnya tentang kapan waktu si debitur mulai wanprestasi. Ini penting karena berkaitan dengan upaya-upaya bank dalam menentukan formula tindakannya kepada debitur.
Lalu apa akibat hukumnya jika debitur wanprestasi? Akibat hukum bagi debitur dalam hal ia melakukan wanprestasi adalah terkena hukuman atau sanksi-sanksi, yang oleh hukum telah mengatur hal ini. Sanksi-sanksi hukum itu, antara lain adalah :
a. Debitur diharuskan membayar ganti rugi yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).
b. Debitur diwajibkan membayar biaya perkara di pengadilan, apabila karena wanprestasinya itu sampai kepada pengadilan (Pasal 181 ayat 1 HIR).
c. Debitur wajib memenuhi perjanjian disertai pembayaran ganti rugi (Pasal 1267 KUH Perdata).
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
b. Terlambat dalam memenuhi prestasi;
c. Berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya.
Dari bentuk-bentuk wanprestasi tersebut kadang-kadang menimbulkan keraguan pada waktu mana debitur tidak memenuhi prestasi, apakah termasuk tidak memenuhi prestasi sama sekali atau terlambat dalam memenuhi prestasi. Apakah debitur sudah tidak mampu memenuhi prestasinya maka hal ini termasuk pada yang pertama, tetapi apabila debitur masih mampu memenuhi prestasi, ia dianggap sebagai terlambat dalam memenuhi prestasi. Bentuk ketiga adalah jika debitur memenuhi prestasinya tetapi tidak sebagaimana mestinya atau keliru dalam memenuhi prestasinya, apabila prestasinya masih dapat diharapkan untuk diperbaiki maka ia dianggap terlambat tetapi jika tidak dapat diperbaiki lagi maka ia sudah dianggap sama sekali tidak memenuhi prestasi.
Pertanyaan yang sering kali timbul dalam praktek adalah sejak kapan debitur dianggap telah melakukan wanprestasi? Ini penting dipersoalkan karena wanprestasi mempunyai akibat hukum yang penting bagi debitur.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur itu wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perjanjian itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak.
Dalam hal tenggang waktu yang tidak ditentukan maka diperlukan suatu tindakan hukum dari bank berupa teguran atau somasi kepada debitur. Somasi ini dimaksudkan untuk teguran bahwa debitur telah lalai memenuhi prestasi dan karenanya ia diingatkan agar dalam tenggang waktu tertentu (disebutkan dalam somasi), debitur harus segera melaksanakan prestasinya. Ketidak taatan debitur dalam memenuhi prestasinya sesuai tanggal yang ditentukan dalam somasi, maka dalam hal ini debitur telah dinyatakan wanprestasi (Muhammad, 1992 : 22). Sebaliknya jika dalam perjanjian ditentukan dengan jelas tenggang waktu pemenuhan prestasi, maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata, debitur dianggap telah wanprestasi dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Praktek baik perbankan yang patut diapresiasi pada saat ini adalah walaupun umumnya masalah wanprestasi telah diatur tenggang waktunya dalam perjanjian kredit, tetapi bank tetap membuat somasi kepada debitur untuk menegaskan bahwa debitur telah benar-benar wanprestasi. Hal baik ini dilaksanakan untuk member penegasan yang setegas-tegasnya tentang kapan waktu si debitur mulai wanprestasi. Ini penting karena berkaitan dengan upaya-upaya bank dalam menentukan formula tindakannya kepada debitur.
Lalu apa akibat hukumnya jika debitur wanprestasi? Akibat hukum bagi debitur dalam hal ia melakukan wanprestasi adalah terkena hukuman atau sanksi-sanksi, yang oleh hukum telah mengatur hal ini. Sanksi-sanksi hukum itu, antara lain adalah :
a. Debitur diharuskan membayar ganti rugi yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).
b. Debitur diwajibkan membayar biaya perkara di pengadilan, apabila karena wanprestasinya itu sampai kepada pengadilan (Pasal 181 ayat 1 HIR).
c. Debitur wajib memenuhi perjanjian disertai pembayaran ganti rugi (Pasal 1267 KUH Perdata).
Label:
Seri Perjanjian
Berakhirnya Perjanjian oleh Raimond F. Lamandasa, SH, MKn
Hapusnya perjanjian adalah berbeda dengan hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat saja hapus sedangkan perjanjiannya yang merupakan salah satu sumbernya masih tetap ada.
Perikatan jual beli misalnya, dimana didalamnya terkandung dua prestasi perikatan yaitu perikatan untuk membayar dan perikatan untuk menyerahkan barang (levering). Dengan dibayarnya harga jual beli, maka perikatan untuk membayar menjadi hapus. Tetapi hal tersebut belum menghapuskan perjanjian karena masih ada satu perikatan lagi yang belum dilakukan yaitu perikatan untuk menyerahkan barang. Jadi perjanjian akan berakhir jika bermacam-macam perikatan yang terdapat dalam perjanjian itu telah dilaksanakan.
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh macam alasan yang menyebabkan perikatan-perikatan dalam suatu perjanjian berakhir. Ke-sepuluh hal tersebut adalah :
a. karena pembayaran
b. karena penawaran pembayaran tunai disertai penitipan
c. karena pembaharuan hutang
d. karena perjumpaan hutang atau konpensasi
e. karena percampuran hutang
f. karena pembebasan hutang
g. karena musnahnya barang yang terhutang
h. karena kebatalan atau pembatalan
i. karena berlakunya syarat-syarat batal
j. karena kedaluwarsa (verjaring)
Sedangkan menurut Setiawan (1999 : 69), suatu perjanjian dapat berakhir disebabkan karena hal-hal sebagai berikut :
a. Ditentukan dalam perjanjian yang dilakukan oleh para pihak.
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian, contohnya ketentuan pasal 1066 ayat 3 jo ayat 4 KUH Perdata dimana perjanjian untuk tidak mengadakan pemecahan harta oleh ahli waris hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu 5 tahun.
c. Para pihak atau Undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus, contoh perjanjian pemberian kuasa, akan hapus dengan meninggalnya salah satu pihak (pasal 1813 KUH Perdata).
d. Pernyataan menghentikan perjanjian. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh kedua belah pihak untuk perjanjian-perjanjian bersifat sementara, seperti perjanjian kerja dan atau perjanjian sewa-menyewa.
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim.
f. Karena tujuan dari perjanjian itu telah tercapai.
g. Dengan persetujuan para pihak.
Perikatan jual beli misalnya, dimana didalamnya terkandung dua prestasi perikatan yaitu perikatan untuk membayar dan perikatan untuk menyerahkan barang (levering). Dengan dibayarnya harga jual beli, maka perikatan untuk membayar menjadi hapus. Tetapi hal tersebut belum menghapuskan perjanjian karena masih ada satu perikatan lagi yang belum dilakukan yaitu perikatan untuk menyerahkan barang. Jadi perjanjian akan berakhir jika bermacam-macam perikatan yang terdapat dalam perjanjian itu telah dilaksanakan.
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh macam alasan yang menyebabkan perikatan-perikatan dalam suatu perjanjian berakhir. Ke-sepuluh hal tersebut adalah :
a. karena pembayaran
b. karena penawaran pembayaran tunai disertai penitipan
c. karena pembaharuan hutang
d. karena perjumpaan hutang atau konpensasi
e. karena percampuran hutang
f. karena pembebasan hutang
g. karena musnahnya barang yang terhutang
h. karena kebatalan atau pembatalan
i. karena berlakunya syarat-syarat batal
j. karena kedaluwarsa (verjaring)
Sedangkan menurut Setiawan (1999 : 69), suatu perjanjian dapat berakhir disebabkan karena hal-hal sebagai berikut :
a. Ditentukan dalam perjanjian yang dilakukan oleh para pihak.
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian, contohnya ketentuan pasal 1066 ayat 3 jo ayat 4 KUH Perdata dimana perjanjian untuk tidak mengadakan pemecahan harta oleh ahli waris hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu 5 tahun.
c. Para pihak atau Undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus, contoh perjanjian pemberian kuasa, akan hapus dengan meninggalnya salah satu pihak (pasal 1813 KUH Perdata).
d. Pernyataan menghentikan perjanjian. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh kedua belah pihak untuk perjanjian-perjanjian bersifat sementara, seperti perjanjian kerja dan atau perjanjian sewa-menyewa.
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim.
f. Karena tujuan dari perjanjian itu telah tercapai.
g. Dengan persetujuan para pihak.
Label:
Seri Perjanjian
Sahnya suatu Perjanjian oleh Raimond F. Lamandasa, SH, MKn
Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Pasal 1320 KUH Perdata merumuskan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian. Keempat syarat tersebut adalah :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Sesuatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua dikualifisir sebagai syarat-syarat subjektif karena berhubungan dengan subjek perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berhubungan dengan objek perjanjiannya. Jadi sahnya suatu perjanjian haruslah memenuhi unsur-unsur subjektif dan objektif seperti tersebut di atas.
a. Sepakat.
Sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak menyetujui, seia-sekata atau persesuaian kehendak dari kedua subyek mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik.
Dalam kata sepakat ini, para pihak harus mempunyai kebebasan kehendak. Artinya dalam mencapai atau menentukan kata sepakat tersebut para pihak tidak boleh mendapatkan sesuatu tekanan, yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.
Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, ada tiga hal yang menyebabkan cacat kehendak dalam suatu perjanjian. Ketiga hal tersebut terlihat dalam rumusan pasalnya sebagai berikut “tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Selain karena kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) ataupun penipuan (bedrog), belakangan ini juga berkembang faham bahwa cacat kehendak juga bisa terjadi dalam hal penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).
Penyalahgunaan keadaan berlatar belakang ketidak seimbangan keadaan mengenai keunggulan pihak yang satu terhadap yang lain. Dalam perkembangannya, penyalahgunaan keadaan ini bisa berwujud dalam hal keunggulan ekonomi, ataupun keunggulan kejiwaan, sehingga dengan keunggulan ini jika disalahgunakan oleh salah satu pihak akan melahirkan penyalahgunaan keadaan (Widyadharma, 1995 : 17).
Menurut Nieuwenhuis dalam Panggabean (2001 : 40), penyalahgunaan keadaan dapat terjadi jika memenuhi empat syarat, sebagai berikut :
1) Keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras dan tidak berpengalaman.
2) Suatu hal yang nyata (kenbaarheid), disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak hatinya unuk menutup suatu perjanjian.
3) Penyalahgunaan (misbruik), salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya.
4) Hubungan kausal (causaal verband), adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup.
Penyalahgunaan keadaan itu berhubungan dengan terjadinya perjanjian, yang menyangkut keadaan-keadaan yang berperan untuk terjadinya suatu perjanjian dimana memanfaatkan keadaan orang lain sedemikian rupa untuk membuat perjanjian itu disepakati.
b. Cakap
Orang yang membuat perjanjian itu harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil-baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUH Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
1). Orang-orang yang belum dewasa;
2). Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3). Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
KUH Perdata menyatakan bahwa orang-orang yang belum dewasa adalah orang-orang yang belum berumur 21 tahun dan / atau tidak telah menikah. Secara a contrario, Satrio (1995 : 5) menyimpulkan bahwa dewasa adalah mereka yang :
1) telah berumur 21 tahun; dan
2) telah menikah, termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah.
Orang didalam pengampuan juga termasuk tidak cakap. Tetapi tentang pengampuan atau curatele ini harus diingat bahwa curatele tidak pernah terjadi demi hukum, tetapi selalu harus didasarkan atas permohonan (sesuai Pasal 434 sampai dengan Pasal 445 KUH Perdata) dan ia baru mulai berlaku sejak ada ketetapan pengadilan atas permohonan itu (Pasal 446 KUH Perdata). Satrio menegaskan bahwa orang yang dapat ditaruh dibawah pengampuan, disebabkan karena :
1) Gila (sakit otak), dungu (onnoozelheid), mata gelap (rezernij);
2) Lemah akal (zwakheid van vermogens); dan
3) Pemborosan (Satrio, 1995 : 5).
Sedangkan ketidak-cakapan perempuan yang telah bersuami, sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, harus dilihat dulu apakah ada perjanjian kawin atau tidak. Jika terdapat perjanjian kawin yang isinya tidak ada percampuran harta sama sekali, maka ketentuan bahwa isteri tidak cakap melakukan perbuatan hukum tidak berlaku lagi. Lain halnya jika tidak ada perjanjian kawin maka demi hukum telah terjadi percampuran harta bulat, sehingga dengan ini, segala perbuatan hukum apapun sepanjang berkonsekuensi terhadap harta dalam perkawinan, isteri harus mendapatkan persetujuan dari suaminya, atau demikian sebaliknya.
c. Suatu hal tertentu
Hal tertentu artinya adalah objek perjanjian itu sendiri, yaitu apa yang diperjanjikan. Hak-hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian itu harus jelas disebutkan di dalamnya. Pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
d. Sebab yang halal
Sebab yang halal bukan berarti sesuatu hal yang menyebakan perjanjian itu dibuat, tetapi menunjuk kepada pokok atau substansi dari apa yang diperjanjikan itu harus halal adanya. Hukum perjanjian tidak mempermasalahkan motivasi apa yang mencetuskan pembuatan perjanjian, tetapi kepada substansi atau isi daripada perjanjian itu.
Konsekuensi dari tidak terpenuhinya salah satu atau kedua syarat subjektif maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar atau voidable). Dalam hal ini salah satu pihak dapat memohonkan pembatalan perjanjian kepada hakim di pengadilan negeri. Sepanjang perjanjian itu tidak dibatalkan oleh hakim, maka menurut Subekti, perjanjian itu tetap mengikat para pihak, sepanjang ada kesediaan para pihak (Subekti, 1990 : 20).
Sedangkan jika salah satu atau kedua syarat ojektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum (nietig atau null and void). Artinya bahwa demi hukum, perjanjian itu tidak pernah lahir dan tidak pernah ada suatu perikatan apapun.
Pasal 1320 KUH Perdata merumuskan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian. Keempat syarat tersebut adalah :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Sesuatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua dikualifisir sebagai syarat-syarat subjektif karena berhubungan dengan subjek perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berhubungan dengan objek perjanjiannya. Jadi sahnya suatu perjanjian haruslah memenuhi unsur-unsur subjektif dan objektif seperti tersebut di atas.
a. Sepakat.
Sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak menyetujui, seia-sekata atau persesuaian kehendak dari kedua subyek mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik.
Dalam kata sepakat ini, para pihak harus mempunyai kebebasan kehendak. Artinya dalam mencapai atau menentukan kata sepakat tersebut para pihak tidak boleh mendapatkan sesuatu tekanan, yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.
Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, ada tiga hal yang menyebabkan cacat kehendak dalam suatu perjanjian. Ketiga hal tersebut terlihat dalam rumusan pasalnya sebagai berikut “tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Selain karena kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) ataupun penipuan (bedrog), belakangan ini juga berkembang faham bahwa cacat kehendak juga bisa terjadi dalam hal penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).
Penyalahgunaan keadaan berlatar belakang ketidak seimbangan keadaan mengenai keunggulan pihak yang satu terhadap yang lain. Dalam perkembangannya, penyalahgunaan keadaan ini bisa berwujud dalam hal keunggulan ekonomi, ataupun keunggulan kejiwaan, sehingga dengan keunggulan ini jika disalahgunakan oleh salah satu pihak akan melahirkan penyalahgunaan keadaan (Widyadharma, 1995 : 17).
Menurut Nieuwenhuis dalam Panggabean (2001 : 40), penyalahgunaan keadaan dapat terjadi jika memenuhi empat syarat, sebagai berikut :
1) Keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras dan tidak berpengalaman.
2) Suatu hal yang nyata (kenbaarheid), disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak hatinya unuk menutup suatu perjanjian.
3) Penyalahgunaan (misbruik), salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya.
4) Hubungan kausal (causaal verband), adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup.
Penyalahgunaan keadaan itu berhubungan dengan terjadinya perjanjian, yang menyangkut keadaan-keadaan yang berperan untuk terjadinya suatu perjanjian dimana memanfaatkan keadaan orang lain sedemikian rupa untuk membuat perjanjian itu disepakati.
b. Cakap
Orang yang membuat perjanjian itu harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil-baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUH Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
1). Orang-orang yang belum dewasa;
2). Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3). Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
KUH Perdata menyatakan bahwa orang-orang yang belum dewasa adalah orang-orang yang belum berumur 21 tahun dan / atau tidak telah menikah. Secara a contrario, Satrio (1995 : 5) menyimpulkan bahwa dewasa adalah mereka yang :
1) telah berumur 21 tahun; dan
2) telah menikah, termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah.
Orang didalam pengampuan juga termasuk tidak cakap. Tetapi tentang pengampuan atau curatele ini harus diingat bahwa curatele tidak pernah terjadi demi hukum, tetapi selalu harus didasarkan atas permohonan (sesuai Pasal 434 sampai dengan Pasal 445 KUH Perdata) dan ia baru mulai berlaku sejak ada ketetapan pengadilan atas permohonan itu (Pasal 446 KUH Perdata). Satrio menegaskan bahwa orang yang dapat ditaruh dibawah pengampuan, disebabkan karena :
1) Gila (sakit otak), dungu (onnoozelheid), mata gelap (rezernij);
2) Lemah akal (zwakheid van vermogens); dan
3) Pemborosan (Satrio, 1995 : 5).
Sedangkan ketidak-cakapan perempuan yang telah bersuami, sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, harus dilihat dulu apakah ada perjanjian kawin atau tidak. Jika terdapat perjanjian kawin yang isinya tidak ada percampuran harta sama sekali, maka ketentuan bahwa isteri tidak cakap melakukan perbuatan hukum tidak berlaku lagi. Lain halnya jika tidak ada perjanjian kawin maka demi hukum telah terjadi percampuran harta bulat, sehingga dengan ini, segala perbuatan hukum apapun sepanjang berkonsekuensi terhadap harta dalam perkawinan, isteri harus mendapatkan persetujuan dari suaminya, atau demikian sebaliknya.
c. Suatu hal tertentu
Hal tertentu artinya adalah objek perjanjian itu sendiri, yaitu apa yang diperjanjikan. Hak-hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian itu harus jelas disebutkan di dalamnya. Pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
d. Sebab yang halal
Sebab yang halal bukan berarti sesuatu hal yang menyebakan perjanjian itu dibuat, tetapi menunjuk kepada pokok atau substansi dari apa yang diperjanjikan itu harus halal adanya. Hukum perjanjian tidak mempermasalahkan motivasi apa yang mencetuskan pembuatan perjanjian, tetapi kepada substansi atau isi daripada perjanjian itu.
Konsekuensi dari tidak terpenuhinya salah satu atau kedua syarat subjektif maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar atau voidable). Dalam hal ini salah satu pihak dapat memohonkan pembatalan perjanjian kepada hakim di pengadilan negeri. Sepanjang perjanjian itu tidak dibatalkan oleh hakim, maka menurut Subekti, perjanjian itu tetap mengikat para pihak, sepanjang ada kesediaan para pihak (Subekti, 1990 : 20).
Sedangkan jika salah satu atau kedua syarat ojektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum (nietig atau null and void). Artinya bahwa demi hukum, perjanjian itu tidak pernah lahir dan tidak pernah ada suatu perikatan apapun.
Label:
Seri Perjanjian
Perjanjian dan Perikatan oleh Raimond F. Lamandasa, SH, MKn
Pengertian Perjanjian dan Perikatan
Pengaturan tentang hukum perjanjian di Indonesia terdapat dalam Buku III Bab Kedua, Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Keempat Kitab Undang-undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUH Perdata) dibawah titel Tentang Perikatan, mulai dari pasal 1233 sampai dengan pasal 1864.
Kata “perjanjian” dan “perikatan” merupakan dua istilah yang dikenal dalam KUH Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata, memberikan definisi bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Sedangkan tentang perikatan, sekalipun dalam KUH Perdata tidak secara tegas mendefinisikannya, tetapi dalam pasal 1233 KUH Perdata dinyatakan bahwa perikatan, selain lahir dari Undang-undang, juga karena perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian, sedangkan suatu perjanjian sudah pasti merupakan suatu perikatan.
Definisi perjanjian sebagaimana pasal 1313 KUH Perdata tersebut mendapatkan tanggapan beragam dari para sarjana hukum kita. Sofwan (1980 : 1), menyatakan bahwa definisi itu kurang lengkap lagipula terlalu luas. Kurang lengkap karena yang dirumuskan dalam pasal itu hanya perjanjian sepihak saja, dimana hanya menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi salah satu pihak saja, tetapi tidak meliputi perjanjian timbal balik dimana para pihak saling mengikatkan diri untuk timbulnya hak dan kewajiban bagi para pihak. Terlalu luas karena mencakup pula hal-hal mengenai pelangsungan perkawinan, membuat janji kawin dan perbuatan-perbuatan semacam itu yang diatur dalam lapangan hukum keluarga, sedangkan pengertian perjanjian yang dimaksud dalam buku III ini adalah perjanjian di dalam lapangan hukum harta kekayaan antara dua belah pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban.
Berusaha melengkapi definisi perjanjian yang terdapat pada pasal 1313 KUH Perdata, Setiawan (1999 : 49), mengemukakan pendapatnya bahwa :
a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;
b. Perlu ditambahkan dengan kata-kata “atau saling mengikatkan dirinya” dalam pasal 1313 KUH Perdata;
sehingga dengan saran tersebut ia memberi definisi perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Mertokusumo (2005 : 118) memberikan perumusan bahwa “perjanjian adalah hubungan hukum antara dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
Definisi yang lebih jelas dan tidak semata menekankan pada subjeknya adalah yang dikemukakan oleh Subekti, dimana Ia memberikan perumusan bahwa, “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.” (Subekti, 1990 : 1).
Senada dengan Subekti, lebih jauh beberapa sarjana memberikan penekanan pada ruang lingkupnya yang berada di dalam lapangan hukum harta benda/kekayaan.
Prodjodikoro (2000 : 4) merumuskan bahwa “perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”
Harahap (1986 : 6) merumuskan bahwa “perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.
Pendapat yang justru menyamakan pengertian perjanjian dan perikatan adalah Muljadi. Dengan menggunakan istilah perikatan, ia memberikan penjelasan, bahwa perikatan sebagai peraturan yang mengatur mengenai hubungan hukum antara subjek hukum dengan subjek hukum yang melahirkan kewajiban pada salah satu subjek hukum dalam perikatan tersebut. Adanya kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut akan melahirkan hak pada pihak lainnya dalam hubungan hukum perikatan tersebut (Muljadi, 2004 : 10).
Sedangkan Satrio (2001 : 1) mengatakan bahwa perikatan dalam arti luas meliputi semua hubungan hukum antara dua pihak, dimana disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban didalamnya termasuk semua hubungan hukum yang muncul dari hubungan hukum dalam lapangan hukum keluarga dan hukum acara.
Dari beberapa perumusan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa hakekat perjanjian dan perikatan pada dasarnya adalah sama yaitu keduanya merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan jauh lebih luas dari perjanjian sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari Undang-undang.
Perbedaan lain dari keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakekatnya mengikat para pihak berdasar pada kesepakatan (kata sepakat) diantara mereka, sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh Undang-undang.
Dengan demikian keduanya juga berbeda dari konsekuensi hukumnya. Pada perjanjian, oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak maka tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian akan menimbulkan ingkar janji (wanprestasi), sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum.
Pengaturan tentang hukum perjanjian di Indonesia terdapat dalam Buku III Bab Kedua, Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Keempat Kitab Undang-undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUH Perdata) dibawah titel Tentang Perikatan, mulai dari pasal 1233 sampai dengan pasal 1864.
Kata “perjanjian” dan “perikatan” merupakan dua istilah yang dikenal dalam KUH Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata, memberikan definisi bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Sedangkan tentang perikatan, sekalipun dalam KUH Perdata tidak secara tegas mendefinisikannya, tetapi dalam pasal 1233 KUH Perdata dinyatakan bahwa perikatan, selain lahir dari Undang-undang, juga karena perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian, sedangkan suatu perjanjian sudah pasti merupakan suatu perikatan.
Definisi perjanjian sebagaimana pasal 1313 KUH Perdata tersebut mendapatkan tanggapan beragam dari para sarjana hukum kita. Sofwan (1980 : 1), menyatakan bahwa definisi itu kurang lengkap lagipula terlalu luas. Kurang lengkap karena yang dirumuskan dalam pasal itu hanya perjanjian sepihak saja, dimana hanya menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi salah satu pihak saja, tetapi tidak meliputi perjanjian timbal balik dimana para pihak saling mengikatkan diri untuk timbulnya hak dan kewajiban bagi para pihak. Terlalu luas karena mencakup pula hal-hal mengenai pelangsungan perkawinan, membuat janji kawin dan perbuatan-perbuatan semacam itu yang diatur dalam lapangan hukum keluarga, sedangkan pengertian perjanjian yang dimaksud dalam buku III ini adalah perjanjian di dalam lapangan hukum harta kekayaan antara dua belah pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban.
Berusaha melengkapi definisi perjanjian yang terdapat pada pasal 1313 KUH Perdata, Setiawan (1999 : 49), mengemukakan pendapatnya bahwa :
a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;
b. Perlu ditambahkan dengan kata-kata “atau saling mengikatkan dirinya” dalam pasal 1313 KUH Perdata;
sehingga dengan saran tersebut ia memberi definisi perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Mertokusumo (2005 : 118) memberikan perumusan bahwa “perjanjian adalah hubungan hukum antara dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
Definisi yang lebih jelas dan tidak semata menekankan pada subjeknya adalah yang dikemukakan oleh Subekti, dimana Ia memberikan perumusan bahwa, “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.” (Subekti, 1990 : 1).
Senada dengan Subekti, lebih jauh beberapa sarjana memberikan penekanan pada ruang lingkupnya yang berada di dalam lapangan hukum harta benda/kekayaan.
Prodjodikoro (2000 : 4) merumuskan bahwa “perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”
Harahap (1986 : 6) merumuskan bahwa “perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.
Pendapat yang justru menyamakan pengertian perjanjian dan perikatan adalah Muljadi. Dengan menggunakan istilah perikatan, ia memberikan penjelasan, bahwa perikatan sebagai peraturan yang mengatur mengenai hubungan hukum antara subjek hukum dengan subjek hukum yang melahirkan kewajiban pada salah satu subjek hukum dalam perikatan tersebut. Adanya kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut akan melahirkan hak pada pihak lainnya dalam hubungan hukum perikatan tersebut (Muljadi, 2004 : 10).
Sedangkan Satrio (2001 : 1) mengatakan bahwa perikatan dalam arti luas meliputi semua hubungan hukum antara dua pihak, dimana disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban didalamnya termasuk semua hubungan hukum yang muncul dari hubungan hukum dalam lapangan hukum keluarga dan hukum acara.
Dari beberapa perumusan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa hakekat perjanjian dan perikatan pada dasarnya adalah sama yaitu keduanya merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan jauh lebih luas dari perjanjian sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari Undang-undang.
Perbedaan lain dari keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakekatnya mengikat para pihak berdasar pada kesepakatan (kata sepakat) diantara mereka, sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh Undang-undang.
Dengan demikian keduanya juga berbeda dari konsekuensi hukumnya. Pada perjanjian, oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak maka tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian akan menimbulkan ingkar janji (wanprestasi), sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum.
Label:
Seri Perjanjian
Langganan:
Postingan (Atom)